"Yaudah siapa tau emang dia suka kamu apa adanya."
"Kenapa Mama gak berusaha tenangin aku dengan bilang kalau aku gak seburuk itu sih?" Aku memasang wajah kesal yang hanya dibalas dengusan napas dari Mama.
"Haduh, ABG jaman sekarang kok banyak maunya ya."
"Iya iya, yaudah deh aku mau mandi, bye."
Aku pun meninggalkan Mama dengan berjalan ke arah kamar mandi.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan obrolanku dengan Mama yang terkesan nyeleneh. Karena bagi kami tipe percakapan santai seperti itu adalah cara yang tepat agar bisa mengetahui perasaan satu sama lain. Mama memang bukan tipe orang yang terlalu formal. Ia sangat humble dan ramah kepada semua orang, termasuk teman-temanku ketika SMA. Berbanding terbalik dengan Ayah yang memiliki kesan kaku dan serius.
Jadi, meskipun kalimatku terkesan seperti marah atau sebal, sebenarnya aku tidak sepenuhnya merasa seperti itu. Dimata Mama, aku yang seperti itu hanya akan terlihat seperti remaja-remaja pada umumnya yang bete dan suka ngambek. Tapi setelah percakapan usai, semua akan kembali berjalan normal seperti biasa.
"Sabunnya habis! Diisi ulang dulu!"
Meskipun sangat malas, pada akhirnya aku pun membalas seruan Mama, "Ya!"
Tapi disisi lain, perasaan berbunga akibat sikap sopan yang dimiliki Kak Ace membuatku spontas senyum-senyum sendiri selama perjalanan menuju kamar mandi. Argh, kenapa ia paling bisa membuat hatiku terbolak-balik seperti ini? Dan Mama terlihat menyukai sosoknya meski hanya dalam satu kali pertemuan. Itu mengejutkanku, karena Mama tidak pernah menyukai Adam meski sudah beberapa kali bertemu.
Lagi-lagi hatiku berbunga-bunga. Pasalnya, tidak ada yang lebih menarik ketimbang mendapatkan restu orang tua.
⋆
Membayangkan kembali kejadian itu membuatku tak sengaja melamun pada saat mata kuliah sastra inggris, dimana giliranku untuk membaca dan menjawab soal telah tiba. Setelah membacakan sebuah kalimat pada soal nomor 27 beserta jawaban yang tepat, dosennya, yang merupakan kakak dari Ayah hanya melakukan yang biasa ia lakukan kepada anak lain untuk merespon jawabanku.
"Benar, jawabannya yang A ya, yaitu did, karena kejadiannya yesterday. Oke next ke soal nomor 28."
Aku memijat keningku lembut dibalik kertas soal yang sengaja ku tinggikan posisinya. Kini bayanganku kembali jatuh pada pemikiran-pemikiran tentang senior berlagak sok laku dengan mendekati para maba agar terlihat disukai semua orang. Namun apakah orang seperti Kak Ace harus ku curigai juga?
Ya, bisa jadi sih. Tapi rasanya agak sedikit aneh. Lagipula ia sudah tampan dan menarik, buat apa coba ia melakukan hal itu hanya untuk kepopuleran semata? Disisi lain sikap sopan dan baiknya yang super niat itu terlihat sangat tidak menyakinkan jika ia hanya ingin bermain-main saja sejauh ini.
"Mikirin Kak Felix ya?" Luvia tiba-tiba saja berbisik disebelahku dan spontan membuatku melongo ke arahnya.
"Udah dibilang bukan dia. Lagian Kak Felix udah punya pacar."
"Siapa emang?"
Eh, siapa ya?
Saat hendak menjawab, tiba-tiba saja aku baru tersadar bahwa aku pun juga tidak tahu nama pacar Kak Felix. Melihatku yang terdiam membuat Luvia senyum-senyum sendiri.
"Tuhkan, alibi lo doang kan? Berarti bener kalau orangnya tuh Kak Felix."
Aku menghela napas panjang dan berusaha kembali melihat depan, "Terserah lo."
Aku hanya bisa berharap supaya kesalahpahaman ini tidak tersebar kemanapun. Hingga kelas siang hari itu usai, aku pun berusaha membuka isi pesan terakhirku dengan Kak Ace untuk kesekian kalinya.
Ace: Aku udah sampai kampus nih
Keira: Emang rapatnya di kampus ya Kak?
Ace: Iya dong biar hemat
Keira: Emang biasanya kelar sampai jam berapa?
Ace: Paling cepet jam 12 sih biasanya
Keira: Hah serius?
Ace: Iyaa, dunia organisasi gak semudah itu
Pada saat pertama kali membacanya, mendadak aku merasa kagum kepada Mama yang mengaku bahwa dulu merupakan anak aktif organisasi yang diakui oleh banyak dosen.
Keira: Oke deh semoga cepet kelar ya Kak rapatnya
Ace: Siapp, nanti aku kabarin kalau udah kelar
Kemudian, aku sibuk berjalan ke sana kemari pada depan cermin kamarku dengan resah. Bahkan sepertinya bayanganku yang terpantul pun turut kebingungan dengan reaksi anehku sejak sepuluh menit lalu. Pesannya hanya ku baca selama sementara, sedangkan pikiranku sibuk menimbang-nimbang usulan hatiku yang hendak bertanya sesuatu tentang kejadian sore tadi.
Tanya gak ya? Tanya gak ya?
Kalau bertanya akan berakhir lebih canggung. Tapi jika tidak, bukannya itu akan semakin memberatkan pikiranku ya? Setelah berpikir berulang kali, aku memutuskan untuk memungut ponsel yang tergeletak diatas kasur. Kemudian ku tuliskan beberapa kata di sana dan menekan tombol 'kirim' tanpa berusaha meragukannya lagi.
Benar, aku harus mendapatkan kejelasan atas semua ini. Aku harus bisa tegas. Dan setidaknya bertanya melalui chat tidak akan terasa semenegangkan saat bertanya secara langsung.
Keira: Kak mau tanya, buat kejadian sore tadi pas di bangku. Itu maksudnya apa ya?
Itu adalah pertanyaan yang terkirim pada pukul delapan malam kurang tujuh menit. Dan hingga saat ini, pada pukul dua siang keesokan harinya, belum ada balasan yang datang, bahkan dibaca pun tidak. Padahal aku telah memikirkan isi pesan itu secara matang-matang. Namun tiada respon membuatku terus resah bahkana di dalam tidurku. Tentu fakta itu membuatku sedikit parno terkait dengan hal-hal yang sempat diobrolan oleh Luvia dan Lisa sebelumnya.
Apakah benar jika Kak Ace sejak awal memiliki niat seperti itu? Atau jangan-jangan ia merasa tidak nyaman dengan melihat isi pesanku melalui notifikasi dan memutuskan untuk tidak membalas? Apakah ini akhir dari kami berdua? Apakah aku harus menyesalinya? Atau justru mensyukurinya?
Seandainya saja aku mendapatkan penjelasan, aku tidak akan bertanya-tanya seperti saat ini.
⋆
YOU ARE READING
if only,
RomanceKeira bertemu dengannya Agustus lalu, saat hari pertama ospek fakultas dilaksanakan. Semula yang terasa hanyalah percikan, bisa terabai. Tapi bagaimana ia bertutur dan berperilaku, pada akhirnya Keira merasa jatuh. Meski selama itu, tiada kata pasti...
i got an explanation
Start from the beginning
