Yang Una tak mengerti.

Aurora, wanita itu yang ia tau dari kalangan atas, tapi mau hidup sederhana dengan pria yang dicintainya.

Apakah itu yang dinamakan cinta?

Una semakin terpekur.

Selama ini, di depan matanya ia tak pernah di suguhkan oleh orang-orang yang saling mencintai.

Bahkan Papi dan Mami...

Una tak mengingat.

Apakah Papi dan Mami saling mencintai?
Sehingga ia hadir di dunia ini?

Tapi....

Jika keduanya saling mencintai, tidak mungkin mereka berpisah. Bahkan sampai saat ini ia tak pernah mendapatkan kabar dari Papi lagi. Tak tau dimana pria itu. Apakah Papi masih hidup atau sudah meninggal?

Mami yang sering gonta ganti suami membuatnya hanya bisa menilai jika tak ada cinta setiap Mami menjalin hubungan. Ditambah lingkungan pertemanannya. Benar-benar bebas dan tak terikat.

Una pernah menjalin suatu hubungan, ingin mendasarinya dengan cinta, tapi terhalang Mami. Benar-benar harus Mami yang memilih pasangan untuknya.

Apakah Mami tak memikirkan perasaannya?

Cukup saat masih kecil, ia tak merasakan cinta dan kasih sayang dari orang tua.

Apakah saat ia dewasa hingga usia senja, ia pun tak merasakan hal tersebut?

Una menghela nafas pendek, bersandar dengan kepala miring, tetap menatap ke arah luar jendela.

●•••●

"Lo pernah ngerasin cinta, Sen?"

Arsen yang tengah terpekur pada iPad di hadapannya menegakkan pandangan menatap Una yang tengah menatap ke arah dinding kaca unit apartemennya itu. Wanita itu berdiri seraya memegang gelas tinggi berisi minuman beralkohol.

Lalu wanita itu tergelak pelan. "Ah pertanyaan gue bego banget, ya? Harusnya gue udah tau jawabannya. Lo pernah pacaran sama Della, bahkan kalian bakal nikah kalau aja Om David restuin hubungan kalian. Terus lo berubah jadi laki-laki bajingan yang suka mainin perempuan. Dan sekarang ..." Wanita itu menoleh ke arahnya dan menunjuknya. "Lo sekarang kena karmanya. Cewek yang sering lo katain bocil itu, bikin lo kembali ngerasin apa itu cinta. Rasanya gimana Sen?"

"Taik lo! Mending lo pulang," rutuk Arsen kesal. Menyimpan iPad-nya dengan kasar di atas meja.

Una tertawa. Merasa puas membuat Arsen kesal. "Lo pikir. Lo doang yang bisa ke apartemen gue seenaknya, abis tuh bikin gue kesal?" ejeknya.

Arsen berdecak pelan. Lalu berdiri, beranjak untuk mengambil minumannya sendiri. Memilih minuman kaleng beralkohol lalu menghampiri Una yang kembali menatap ke arah dinding kaca tersebut.

"Lo kenapa sih?" tanya Arsen. Agak heran karena Una mendatangi apartemennya.

Wanita itu tak menjawabnya, malah meneguk minumannya hingga habis. Lalu berjalan sempoyongan ke arah meja bar untuk menambah minumannya.

"Hei! Jangan mabok lo! Mau gue panggilin security?" seru Arsen sinis, menyindir Una yang pernah mengatakan hal tersebut padanya.

Una tidak mengacuhkan, bahkan kini meneguk minuman tersebut lewat botolnya. Arsen pun menaruh kaleng minumannya lau menghampiri Una. Merebut botol minuman tersebut. Ia berdecak menatap wanita itu yang matanya memicing sayu, dengan muka merah karena efek minuman tersebut. Bahkan kini jatuh terduduk di lantai.

"Sial, Una. Lo bener-bener berhasil bikin gue kesel. Jadi, ini balasan lo?" gerutu Arsen seraya menaruh botol tersebut di meja, kemudian membungkuk untuk menarik Una berdiri. Mengangkat Una ke arah sofa panjang tersebut.

CERPENWhere stories live. Discover now