Bab 🕑

23.6K 1.6K 41
                                    

Mendengar teriakan seseorang, Ciel segera terbangun

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mendengar teriakan seseorang, Ciel segera terbangun. Ia duduk sambil menatap ke segala arah, merasa ada yang aneh. Awalnya, ia berada di perpustakaan, tapi sekarang ia berada di tempat yang aneh. Seluruh ruangan berwarna putih dan tidak ada satupun barang atau alat di ruangan tersebut, semuanya kosong. Ciel mengucek kedua matanya, berharap ini hanya mimpi. Tidak mungkin baginya tiba-tiba berada di tempat seperti ini. Dia merasa khawatir ga mungkin kan cuman gara gara pusing tadi, dia pingsan lalu mati?.

"Ciel," seseorang memanggilnya. Ciel segera berdiri dan melihat ke sekelilingnya.

"Velicia, apakah itu kamu?" tanya Ciel.

"Velicia," lanjutnya, tetapi tidak ada respons sama sekali.

"Ciel," suara itu terdengar lagi di telinganya. Suaranya tidak seperti suara Velicia, setelah diamati dengan jelas, suara tersebut benar-benar bukan suara wanita, melainkan suara pria.

Mendengarnya, Ciel mulai teringat dengan kejadian di perpustakaan. Suara yang ia dengar persis sama. Ayolah, dia tidak ingin mati sekarang. Masih banyak dosa yang harus dia tebus, apalagi dia belum menyatakan perasaannya kepada seseorang yang dia sukai. Usianya juga masih terlalu muda.

Samar-samar, Ciel melihat seseorang dari kejauhan dan mulai mendekat ke arahnya. Apakah ini sudah waktunya baginya untuk pergi jauh dan tidak akan kembali ke bumi lagi?

Dia menunduk, ingin menangis, tapi semua ini pasti sudah takdirnya. Jika dia akan mati sekarang, dia hanya bisa pasrah. Saat orang tersebut semakin dekat, wajahnya hampir terlihat. Dan saat semakin terlihat, Ciel membulatkan matanya. Ternyata, itu seorang pria yang hampir seumuran dengannya. Wajahnya juga terlihat seperti manusia, sama seperti dirinya. Apa dia juga sama?

Ciel tanpa sadar mulai berjalan ke arahnya, ingin mencubit pipi pria tersebut. Tapi saat dia ingin mulai mencubit, tangannya malah menembus wajahnya. Pria itu tersenyum melihat tingkah Ciel, terutama saat melihat ekspresi kebingungannya. Sepertinya pilihan ini tidak akan salah.

"Jangan bingung, wajar saja jika kamu tidak bisa menyentuh wajahku," ucapnya sambil menatap Ciel.

Ciel mendengarnya dan mengernyitkan dahinya. Bingung dengan perkataan pria yang ada di hadapannya. Apa maksudnya "wajar saja"? Apa mungkin karena dirinya sudah mati, atau mungkin mereka berdua sudah mati?

"Apa maksud perkataanmu? Lalu, kenapa aku tidak bisa menyentuh wajahmu? Apa mungkin karena kita sudah sama-sama mati?" Ciel memutuskan untuk menanyakannya, penasarannya begitu besar. Sepertinya pria yang ada di hadapannya ini tahu apa yang terjadi sekarang.

Pria tersebut menggelengkan kepala, lalu menjulurkan tangannya menunjuk dirinya sendiri.

"Hanya aku saja yang sudah mati," ucapnya, lalu mulai menjulurkan telunjuknya ke arah dada Ciel.

"Dan kamu masih belum mati. Tubuhmu sedang saat ini sedang di bawa ke rumah sakit dan dinyatakan dalam keadaan koma sekarang," ucapnya.

Ciel tidak percaya dengan perkataan pria yang ada di hadapannya. Bagaimana mungkin hanya karena dia pingsan bisa membuatnya sampai koma?

Pria itu yang mengerti pun mulai menjelaskannya lagi, "Karena aku memanggilmu dan membawamu secara paksa, aku minta maaf untuk ini. Tapi aku tidak punya cara lain. Aku ingin kamu membantuku, Ciel," ucapnya.

Ciel menatap pria yang ada di hadapannya. Matanya terlihat tanpa harapan, sayu, dan kosong.

Haruskah dia membantunya? Tapi dia tidak tahu bagaimana harus membantunya. Hatinya tidak tega melihat pria yang ada di hadapannya ini. Dia baru menyadari bahwa pakaian yang dikenakan pria tersebut sangat kotor dan wajahnya penuh luka. Di dalam pikirannya, dia bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Apakah dia mati karena kecelakaan?

Tanpa berpikir panjang, Ciel menganggukkan kepalanya. Dia memutuskan untuk membantu pria di hadapannya, meskipun tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan.

Pria itu tersenyum senang melihat anggukan Ciel, lalu memperkenalkan dirinya, "Namaku Vino Alvarenza. Terima kasih telah menerima permintaanku," ucap Vino.

Ciel terpana melihat wajahnya yang sangat lucu. pantas saja Dia hampir ingin mencubit kedua pipinya.

Ciel tanpa sadar ikut tersenyum, hatinya hangat melihat Vino. Tanpa ragu, dia langsung menanyakan apa yang harus dilakukan untuk membantu Vino. Ciel merasa tidak perlu memperkenalkan dirinya karena sepertinya Vino sudah tahu namanya.

"Kamu hanya perlu memasuki tubuhku dan mengubah sikap keluargaku terhadapku," jelas Vino.

Permintaan itu agak sulit bagi Ciel. Mengubah sifat seseorang tidaklah mudah. Mungkin hubungan Vino dan keluarganya sangat buruk, dan sebelum Vino meninggalkan dunia ini, ia ingin melihat perubahan dalam hubungan tersebut.

"Baiklah, aku akan melakukannya. Aku hanya perlu memasuki tubuhmu, kan? Namun, setelah menyelesaikan tugas ini, aku bisa kembali ke tubuhku, bukan?" ucap Ciel, diakhiri dengan pertanyaan.

Tidak ada jawaban dari Vino. Dia hanya menatap Ciel dengan seksama, seolah-olah mengamati seluruh tubuhnya.

Ciel merasa risih dengan tatapan itu, jadi dia memutuskan untuk bertanya apakah dia tidak akan kembali ke tubuhnya.

"Vino," panggil Ciel.

"Akan kembali setelah menyelesaikannya," akhirnya Vino merespons.

"Jadi, nama ayahmu siapa? Apakah Vino memiliki kakak laki-laki atau perempuan, dan siapa namanya?" tanya Ciel secara beruntun sebelum memasuki tubuh anak di hadapannya. Lebih baik menanyakan sedikit agar ingatannya tidak terlalu kosong tentang Vino.

"Ciel akan mengetahuinya nanti. Jika aku memberitahumu sekarang, Ciel mungkin akan marah dan berubah pikiran," ucap Vino.

"Apa maksudmu?" tanya Ciel, tetapi perkataannya terhenti saat ia melihat lubang besar di bawah kakinya. Tanpa bisa menghindar, Ciel terjatuh ke dalam lubang tersebut. Dia melihat Vino melambaikan tangannya dan mulai menghilang dalam cahaya. Begitu juga dengan Ciel, dia mulai menghilang dalam kegelapan yang memenuhi lubang tersebut.

VINO ALVARENZAWhere stories live. Discover now