Sania tak menoleh, ia kembali asyik dengan dunianya.

"Memang Adek cium Sabil gimana? Kok sampai dia nangis?"

Mendengar pertanyaanku, Sania seketika menoleh. Lalu tanpa kusangka ia mendekat dan detik berikutnya bibirnya nempel kebibirku, membuatku melotot saking kagetnya.

"Gitu, Kak."

Sania ini baru berusia enam tahun lebih. Bagaimana dia bisa tahu ada ciuman jenis ini?

Apakah dia pernah secara tak sengaja melihat orang tuanya berciuman? Kalau iya, secepatnya aku harus melaporkan hal ini pada Nyonya Farah. Sania yang masih polos ini harus sesegera mungkin di beri pengertian bahayanya ciuman ini. Jangan sampai ia menganggapnya sebagai kewajaran lalu dikemudian hari dengan mudah ia melakukannya dengan sembarang orang.

Sania memang hanya anak bosku. Tapi sudah tugasku menjaganya. Aku tidak mau terjadi hal buruk padanya, jangan sampai aku kecolongan.

"Kakak kaget? Jangan-jangan kakak belum pernah ciuman yaaa ..."

Bocah ini malah mengejekku. Tak paham betapa aku mengkhawatirkanya. Aku makin was-was, karena Sania seperti sudah terbiasa melihat adegan dewasa itu.

Ya Tuhan, siapa yang harus bertanggung jawab kalau Sania kenapa-kenapa?

"Dek, " panggilku pelan.

Aku harus memastikan sesuatu. Sejujurnya aku bukan tipe orang yang mau ikut campur urusan orang lain. Tapi sekali lagi, ini tanggung jawabku menjaganya.

Sania menatapku dengan senyum merekah, kontras dengan dadaku yang gusar mengkhawatirkanya.

"Adek tahu itu darimana?" Aku berkata sepelan mungkin. Bahkan sampai tak sanggup mengucapkan kata ciuman di depannya.

"Ciuman maksudnya?"

Aku memejamkan mata kala mendengar ia mengatakan kata itu tanpa beban.

Dia sepolos itu.

"Kak Nando sering ciuman sama Kak Septi, terus Adek lihat. Pernah di kamar juga lho, Kak. Terus pas Kak Septi mau pul ... "

"Stop!"

Aku kembali memejamkan mata tak sanggup mendengar lanjutan ucapan Sania. Bahkan baru kusadari caraku menghentikan ucapan Sania tadi sedikit  bernada tinggi.

Jadi semua ini ia tahu dari Kakaknya? Apa Nyonya Farah tahu hal ini?

****
  Aku memutuskan tak langsung pulang, secepatnya Nyonya Farah harus tahu hal ini. Kalau dia tak terima tak apa, yang penting aku sudah mengatakan apa yang harus aku katakan.

"Belum pulang?"

Seperti sebelum-sebelumnya, aura majikanku ini tetap sama, dingin dan angkuh.

"Ada yang mau saya bicarakan sama Nyonya."

Langkahnya yang akan naik ke lantai dua terhenti. Ia memicingkan mata menatapku.

"Soal gaji? Apa kurang?"

Aku menggeleng cepat. Salah satu alasanku melakukan ini karena gajiku itu. Gajiku terlalu besar untuk ukuran pekerjaanku yang hanya beberapa jam saja. Aku tidak mau Nyonya beranggapan aku menyepelekan anaknya.

"Lalu? "

Aku memberanikan diri berjalan ke arahnya. Hal yang sangat riskan untuk dilakukan. Karena selama ini tidak banyak yang bisa mendekati Nyonya itu secara terang-terangan, seperti ini.

"Apa kita nggak sebaiknya cari tempat lain, Nyonya?"

Aku bicara sepelan mungkin, sedikit khawatir kalau ada orang lain di ruangan ini.

Nyonya Farah mengerutkan dahi. Mata tajamnya kini menatapku menuntut penjelasan.

"Penting sekali, Nyonya." ulangku karena wanita ini belum bereaksi selain menatapku.

Nyonya Farah yang kutemui selama ini adalah perempuan yang sangat di segani. Dia jarang bergaul dengan kami, para pekerjanya.

"Mau ngomong apa?"

Tanpa Kusangka wanita cantik ini mengajakku masuk kekamarnya. Ia menggiringku ke balkon yang ada di sisi kiri. Dan aku baru menyadari balkon ini mengarah langsung ke depan. Sehingga aku bisa melihat hilir mudiknya kendaraan. Bahkan tukang cilok langgananku terlihat jelas dari sini.

"Sampai kapan kamu membuat saya nunggu?"

Aku tersentak menyadari tujuan awal ku di bawa kemari.

Aku mulai bercerita, ia pun mendengarkan dengan seksama walaupun aku tahu dia sedang butuh istirahat. Demi untuk tidak membuat suasana makin runyam, aku sengaja memotong bagian Sania mengetahui semua ini dari Nando. Biarlah Nyonya Farah berpikir kalau Sania tahu dari sosial media saja.

"Terimakasih. Saya akan menanganinya." tuturnya dengan wajah datar.

Aku lega ternyata Nyonya Farah cukup bisa menerima penjelasanku tanpa bertanya ini itu.

"Hati-hati." ucapnya kala aku pamit untuk pulang.

****
   Jam tanganku sudah menunjukkan pukul sembilan kurang, ini terlalu malam bagi Ibu. Biasanya aku sudah sampai rumah. Agar wanita kesayanganku itu tidak khawatir, kusempatkan diri menghubunginya sembari berjalan kearah motor. Seperti yang kuduga, Ibu langsung mencecarku dengan suara cemas.

Ah, Ibu. Kau memang bukan wanita yang melahirkanku tapi perhatianmu padaku, membuatku semakin bersemangat membahagiakanmu.

   Aku sudah ada di atas motor bersiap keluar gerbang. Ketika memasang helm aku iseng mendongak ke atas. Beberapa menit yang lalu aku berdiri di sana bersama Nyonya Farah.

Selama ini kukira balkon itu adalah kamar kosong karena jarang sekali  melihat orang di sana, tapi rupanya hal itu di karenakan si pemilik kamar memang jarang punya waktu bersantai di sana. Atau balkon itu malah berfungsi saat pagi hari, di kala aku belum datang?

Setelah memastikan semuanya siap, Kunyalakan motorku, lalu seperti ada yang memerintah aku kembali mendongak, tapi kali ini aku sedikit terkesiap, Nyonya Farah tengah bersendekap di sana, dengan mata tertuju padaku.

Tanpa ekspresi, tetap datar, tetap angkuh.

***
  Aku baru sampai rumah pukul sepuluh malam. Ada insiden yang membuatku pulang semakin telat. Di tengah perjalanan, lagi-lagi ada mobil yang mengikutiku. Mobil yang sama dengan mobil yang mengikutiku tempo hari.

Awalnya aku ingin ngebut demi meninggalkan jejak, tapi rupanya jalanan malam ini begitu ramai, kalau aku nekat, bisa-bisa aku celaka bukan karena penguntit itu, tapi karena hal lain.

Akhirnya aku memutuskan berhenti di depan swalayan yang masih buka, menyelinap masuk cepat-cepat membuat pegawainya menatapku aneh karena ternyata aku masih memakai helm. Troli yang kupegang penuh tapi tak jelas apa yang aku beli, yang penting aku terlihat sebagai customer.

Lima belas menit berlalu kurasa penguntit itu sudah jauh, aku memutuskan melanjutkan perjalanan. Namun lagi-lagi perkiraanku meleset, mobil itu kembali tepat di belakangku. Tapi aku sedikit lega karena ini adalah perkampungan padat penduduk, masih banyak orang diluar rumah. Kalau mereka macam-macam aku akan teriak.

Aku berusaha tetap tenang melajukan motor, tapi makin lama si penguntit itu makin membuatku overthinking. Aku ingat didepan sana ada gang, dan aku pernah lewat saat jaman sekolah dulu. Sembari melajukan motor aku terus berdoa semoga gang itu tidak tutup sehingga aku bisa secepatnya menghilangkan jejak.

Doaku terkabul dan lega kala kubaca ada papan peringatan di sana, kendaraan roda empat dilarang lewat. Senyumku terbit seketika yakin akan bisa bebas secepatnya.

Aku tersenyum penuh kemenangan saat berhasil lolos. Dan benar saja, penguntit itu kini tengah berhenti di depan gang, mereka menatapku. Entah keberanian ini muncul dari mana, kuhentikan motorku kemudian berbalik menatap mereka.

Seperti menantang, bibirku menyeringai menatap mereka, tinjuku kuangkat pongah.

Aku baru sadar kalau hari-hari berikutnya, perjalanan pulangku tak akan bisa setenang seperti biasanya.

Tbc.



BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now