"Apa yang kau lukis?"

Eh?

Aku kaget. Suara berat yang terkesan tenang itu terdengar begitu dekat.

Untuk meyakinkan diri bahwa tak ada yang salah dengan pendengaranku, secara perlahan, kugerakkan batang leher untuk sedikit melirik.

Benar saja! Saat bola mataku dapat melihat dengan jelas sosok yang kini telah berdiri tepat di belakang sembari memperhatikan dengan saksama hasil karya yang kubuat, aku hanya mampu terpaku.

Aku terdiam, sebelum kembali tersentak saat menyadari bahwa Naruto-sensei tengah menundukkan tubuh sehingga membuat wajahnya telah berada tepat di samping wajahku, dengan mata yang masih terpaku pada lukisan asal-asalan yang ada.

Tak membutuhkan waktu yang terlampau lama, hingga akhirnya dia terkekeh pelan lalu kembali menegakkan diri lantas menyentuh pelan kepalaku.

Ya, Tuhan, aku bisa terkena serangan jantung jika terus seperti ini.

"Cobalah untuk lebih fokus."

Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutnya, dan ia melangkahkan kaki menuju depan kelas karena bel tanda berakhirnya pelajaran telah terdengar.

Aku menghela napas pelan, merasa lega meski jantungku tetap dalam keadaan yang mengenaskan; berdetak dengan begitu cepat.

"Baiklah, kelas hari ini kita akhiri sampai di sini." Naruto-sensei, orang yang menjadi satu-satunya perhatian utama dari seluruh pasang mata yang menghuni ruangan ini, segera bergerak untuk meraih buku kecil yang sedari tadi diletakkannya di atas meja, lalu kembali menatap ke arah para murid sembari membenarkan letak kacamata yang bertengger di wajahnya dengan perlahan.

"Jika masih ada yang tidak kalian mengerti, bisa bertanya langsung padaku," ujarnya memberi pernyataan, lalu diikuti dengan teriakan para murid yang mengiyakan perkataan tersebut, lantas membuat ia tersenyum singkat hingga menampilkan lesung pada kedua pipinya, lalu melangkahkan kaki untuk keluar dari kelas.

Namun, sebelum dia benar-benar menghilangkan diri di balik pintu, aku sempat menyadari, bahwa sekilas Naruto-sensei kembali melirik ke arah diriku melalui sudut matanya.

Hanya singkat, tapi berhasil membuatku begitu salah tingkah. Secara refleks, wajahku berpaling ke arah lain dan mendapati Miko Shion, sahabatku yang kini sedang menatap dengan wajah yang cukup menyebalkan; alis menukik, bibir melengkung ke bawah, dan tatapan mata tajam.

"Beruntungnya...," ucapan singkat yang tanpa perlu kupertanyakan lagi apa maksud dari perkataan itu.

Tentu mengenai Naruto-sensei yang mendekatiku. Atau lebih tepatnya saat Sensei menyentuh kepalaku.

Mengingatnya lagi hal itu, berhasil membuat wajahku terasa panas dan pasti sedikit memerah.

.

.

.

Hari telah beranjak senja. Langit yang awalnya dipenuhi oleh nuansa warna biru dan putih, kini telah berubah menjadi jingga terang yang menyilaukan mata.

Jam telah menunjukkan waktu yang semakin tenggelam, dan dari jendela ruang seni, aku bisa melihat beberapa murid yang berjalan menjauhi gerbang masuk sekolah--beranjak pulang untuk menuju ke dunia mereka yang lain selain gedung pendidikan.

Beberapa saat yang lalu, Haruno Sakura, salah satu sahabatku yang berada di kelas berbeda denganku, telah memberi ajakan untuk pulang bersama karena kegiatan kelas tambahannya telah usai. Hal ini memang selalu kami lakukan setiap kali pulang sekolah karena berhubung jarak antara apartemennya dan milikku tak begitu jauh. Namun, tanpa alasan yang pasti, aku menolak karena masih ingin menetap di sini.

Promise Me, Sensei ✔Kde žijí příběhy. Začni objevovat