Part 4

663 73 4
                                    

Dalam perjalanan pulang tadi, Kalis tertidur di mobil. Skala menggendong gadis cilik itu untuk dipindahkan ke kamar. Saat tidur pun Kalis gemetar, entah karena sedang bermimpi buruk atau saking ketakutannya oleh ulah papinya tadi. Skala merasa iba anak sekecil ini harus meyaksikan hal-hal yang tidak baik untuk mentalnya.

"Om janji akan berusaha melindungi kamu," ucapnya sembari mengusap puncak kepala Kalis.

Skala membungkuk mencium kening Kalis penuh kasih sayang. Dia selimuti anak itu dengan lembut, lalu ke luar dari kamar. Dilihatnya Leta sibuk di dapur mengeluarkan semua yang tadi dibeli untuk ditaruh ke dalam kulkas.

"Bisa ke sini bentar nggak?" panggil Skala.

Leta langsung menghampiri Skala. "Ada apa?" tanyanya menatap lekat pria itu.

Skala menarik lembut tangan Leta agar duduk. Dia mengambil kotak P3K dari lemari, lalu membawanya ke dekat Leta. "Luka harus diobati agar sembuh," ucapnya. Namun sepertinya maksud sebenarnya bukanlah itu, tapi menyindir rumah tangga Leta.

"Aku sendiri aja." Leta hendak ambil alih salep dari tangan Skala.

"Kamu butuh bantuan untuk hal-hal yang nggak bisa kamu lakukan sendiri, jangan selalu sok kuat," ucap Skala kembali penuh maksud.

Leta meringis saat Skala mengolesi salep ke sudut bibirnya, rasanya perih. Namun saat menyadari wajah Skala sangat dekat, dia menahan napas. Jantungnya mulai berdebar kembali.

Untuk memar di sekitar pipi Leta, Skala mengompresnya. "Sejak kapan rumah tangga kalian bermasalah?" tanyanya.

Leta bingung menjawabnya.

"Sebagai pengacara kamu, aku harus mempelajari kasus kamu dan tahu semuanya sedetail mungkin. Jangan ada yang kamu tutup-tutupi, agar aku bisa mencari cara untuk memenangkan kasus ini," ujar Skala menjelaskan.

"Ta-tapi aku nggak punya uang untuk bayar jasa kamu. Aku pergi nggak bawa apa-apa. Ini aja selama di sini aku sama Kalis udah ngerepotin kamu," lirih Leta.

"Cukup hidup dengan baik setelah ini, itu bayaran yang setimpal buat aku," ucap Skala tulus. "Aku tulus bantu kamu, nggak berharap dibayar."

Leta tahu Skala melakukan ini karena dirinya adalah sahabat Dona. Dia juga tahu pria ini tulus membantunya, tak terlihat mengharapkan sesuatu sebagai balasan.

Beruntung sekali Dona.

Hening beberapa detik. Hingga suara Leta mulai terdengar kembali ...

"Awalnya, aku mengenal Bram sebagai laki-laki yang baik dan sangat bertanggungjawab. Selama satu tahun kami menikah, Bram menjadi sosok suami yang sangat lembut. Terutama saat aku hamil, dia memperlakukan aku seperti seorang ratu." Leta mulai membuka kisah hidupnya.

"Bram sangat berharap memiliki anak laki-laki, begitu juga dengan orang tuanya yang membutuhkan seorang pewaris. Saat melakukan USG, dokter bilang anak kami laki-laki. Bram dan keluarganya sangat senang, sampai setiap hari yang aku terima hanyalah kasih sayang dari mereka."

Leta menarik napas panjang, bagai sangat berat untuk melanjutkannya. "Sampai akhirnya tiba waktu Kalis lahir ke dunia ini. Bram dan orang tuanya menyambut dengan antusias. Tapi saat anak kami dan dokter bilang kalau jenis kelaminnya perempuan, mereka semua marah."

"Kenapa bisa perempuan? Bukannya saat USG dokter bilang laki-laki?" tanya Skala ikut terkejut.

"Bram juga menyalahkan dokternya, sampai mengancam ingin menuntut rumah sakit itu karena dianggap sudah menipu kami. Tapi kata dokter kesalahan pada saat USG memang bisa terjadi."

Leta berhenti sebentar, lalu kembali melanjutkan, "Bram marah besar, termasuk juga keluarganya. Sejak saat itu sikap mereka ke aku berubah total. Bram mulai sering main wanita, pulang-pulang mabuk dan main kasar ke aku. Lebih mirisnya lagi, dia minta aku kirim Kalis ke panti asuhan karena dianggap membawa sial."

"Kalis nggak pernah merasakan kasih sayang dari Papinya. Bahkan selama tiga tahun kami bagaikan hidup di neraka." Leta menangis sesenggukan.

Skala tidak bisa mencegah dirinya untuk memeluk Leta. Rasanya dia ingin terus memeluk wanita itu selamanya, melindunginya sedalam mungkin agar dia merasa aman.

"Bercerai memang keputusan yang tepat. Aku akan mendukung kamu, dan berjuang semaksimal mungkin untuk memenangkan kasus ini. Kamu pasti bisa lepas dari pria brengsek itu," ucap Skala menjanjikan.

Leta melepaskan pelukan dan menatap Skala serius. "Tapi gimana sama Kalis? Aku nggak mau hak asuh Kalis jatuh ke tangan Bram. Dia pasti hanya ingin menggunakan Kalis untuk nyakitin aku," ucapnya takut.

"Kamu tenang aja, hak asuh Kalis pasti akan jatuh ke tangan kamu. Aku nggak akan biarkan dia menang," balas Skala meyakinkan.

Leta mendongak menatap Skala, air matanya menetes. "Makasih Skala, kamu udah banyak banget bantuin aku," lirihnya.

Skala mengusap air mata Leta dengan lembut. Keduanya tidak sadar saling menatap begitu lama, seolah lewat mata semua kalimat yang tidak terucap bisa dikatakan.

Ponsel Skala berbunyi.

Keduanya sama-sama tersentak. Skala melihat layar ponselnya, nama Dona terlihat di sana. Dipandanginya cukup lama nama itu, mulai menyadari kalau dia telah melupakannya seharian ini.

"Kenapa nggak diangkat?" tanya Kalis agar Skala segera menerima telepon Dona.

Telepon dari Dona terlanjur mati. Skala membiarkannya. "Biar nanti aku telepon balik," katanya sembari meneruskan kembali mengompres pipi Leta.

"Kamu bener udah mantap, kan, mau bercerai dengan suami kamu?" tanya Skala ingin memastikan lagi. "Selama menjadi pengacara, beberapa kali aku mendapat klien yang pada akhirnya berubah pikiran saat mediasi. Mereka cenderung luluh kembali pada janji manis suaminya."

"Kali ini keputusan aku udah final. Aku udah nggak mau hidup di neraka yang Bram ciptakan. Aku capek dan aku nggak mau Kalis terus menerus menyaksikan kekejian papinya," jawab Leta sangat yakin.

"Soal bukti-bukti perselingkuhan dia yang tadi kamu bilang, apa beneran ada?"

"Ada. Aku ambilin." Leta bergegas ke kamar. Tidak lama setelah itu dia kembali membawa sebuah memory card dan memberikannya pada Skala.

Skala memasukkan card kecil itu ke ponselnya, menyalin semua isinya. Setelah itu dia tonton semua video yang tadi tersalin. Semua rekaman berisi adegan perselingkuhan Bram dengan banyak wanita yang dilakukan di mobil.

"Aku diem-diem pasang kamera di mobilnya, tapi hanya ada beberapa yang emang dia lakukan di mobil. Sisanya di hotel tapi aku nggak bisa dapetin buktinya," beritahu Leta.

"Ini aja udah cukup buat pengadilan mengabulkan gugatan kamu." Skala jadi makin optimis. "Gimana dengan nafkah?"

"Kalau soal nafkah, dia bertanggung jawab. Setiap bulan dia selalu transfer untuk kebutuhan aku sama Kalis." Saldo di rekening Leta bisa dikatakan cukup banyak dari hasil transferan Bram setiap bulan, hanya saja dia pergi tidak membawa dompetnya.

"Kalau nafkah batin?" tanya Skala ragu, tapi ini penting juga untuk ditanyakan.

Wajah Leta bersemu. "Sejak Kalis lahir kami udah nggak pernah melakukan itu," jawab Leta sengaja menunduk karena malu.

"Sekalipun?"

Leta mengangguk. "Dia lebih suka main perempuan di luar sana untuk memenuhi kebutuhan seksualnya," jawabnya jujur.

"Bagus kalau gitu," ucap Skala spontan.

"Hah? Bagus?"

"Maksud aku bagus karena itu bisa jadi pertimbangan juga buat alasan kamu minta cerai," perjelas Skala langsung.

"Oh ... iya." Leta mengangguk.

Keduanya kemudian sama-sama merasa canggung. Obrolan tadi cukup menguras energi dan mengganggu pikiran.

***

Skandal CintaWhere stories live. Discover now