Penawaran Terakhir

4.9K 257 5
                                    

  Aku tak mampu berkata-kata. Ibuku terus menatapku. Tiba-tiba dia menarik tanganku dan memelukku.

"Sarah, mama mau kamu jujur. Apa yang terjadi padamu? Nyaris setiap malam selama dua minggu ini kamu keluar terus. Alasannya pun beda-beda. Padahal dulu kamu itu paling malas keluar malam. Cobalah ceritakan. Mama gak akan marah."

Aku masih diam berpikir, apa yang akan kukatakan padanya. Aku sudah tak bisa berbohong lagi. Tapi, haruskah kukatakan padanya bahwa setiap malam itu aku ke bar untuk berdiskusi dengan teman-teman penjahatku? Ah, itu akan membuatnya marah. Tapi, apakah aku akan mengatakan bahwa aku sering dibully? Tidak, itu akan membuatnya sedih. Namun, apakah aku harus mengatakan padanya bahwa aku dipukuli oleh seorang pria karena telah membunuh dua orang anggotanya? Itu akan membuatnya menangis.

Dan aku tak sanggup melihatnya menangis.

Cukup lama kami tak bersua, namun tubuhnya masih erat memelukku dan tangannya masih lembut membelaiku. Aku terlalu sayang padanya. Sekejam apapun diriku, sesadis apapun sikapku, aku takkan pernah bisa menyakitinya. Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan padanya?

"Sudahlah, kalau kamu gak mau ngomong gak apa-apa. Sekeras apapun usaha mama maksa kamu tapi kalau kamu gak mau ngomong ya, sia-sia saja."

"Hmm, mama marah ya?"

"Nggak kok sayang," Ibu mengecup keningku dan tersenyum "Mama gak bisa marah sama kamu." Ibuku pun pergi.

Apa yang dikatakan ibuku mulai membuatku merenung tentang apa yang sudah kulakukan. Aku menyesal. Ibuku sangat percaya padaku, dia sangat menyayangiku. Dia bahkan tak pernah marah padaku.

Memang benar, penyesalan selalu ada di akhir.

Dan apa yang bisa kulakukan sekarang? Mundur? Ah, aku sudah setengah jalan. Jika aku memaksa mundur maka aku akan mati, mereka sudah mengetahui siapa aku, dan semuanya pun takkan bisa kembali seperti semula. Hanya ada satu pilihan, yaitu aku harus terus maju. Walaupun aku akan tambah menyesal. Walaupun pada akhirnya semua orang akan tahu semuanya dan sakit hati.

Dari siang hingga petang itu aku hanya bersembunyi di kamarku. Aku baru keluar saat makan malam tiba.

"Non, makan malam sudah siap. Non udah ditunggu sama tuan dan nyonya." Panggil Bi Iyem.

"Oh iya." Aku segera ke ruang makan. Ternyata hari ini ayahku pulang lebih awal. Aku segera duduk di sebuah kursi di hadapan ibuku. Ayah melirikku, namun tak berkata apa-apa. Baru saat dia sudah selesai dengan suapan ketiganya, dia bertanya padaku.

"Sarah, badanmu masih sakit?"

"Tidak pa. Badanku udah agak mendingan."

"Oh, baguslah kalau begitu. Sarah mau jujur sama papa?"

"Hmm, papa mau ngomong apa?"

"Sarah nyaman di sekolah sekarang?"

Aku terdiam. Aku tak mau menyusahkan mereka lagi.

"Kalau Sarah merasa tidak nyaman, Sarah bisa pindah lagi ke Jakarta sementara kami disini."

"Aku..."

"Kalau Sarah gak mau jawab pertanyaan tentang apa yang terjadi tadi siang, gak apa-apa. Tapi kami benar-benar ingin Sarah menjawab pertanyaan ini."

"Hmm, sebenarnya Sarah mau pindah ke Jakarta lagi, tapi rasanya tanggung. Sudah hampir ulangan akhir semester dua. Jadi lebih baik kalau SMA-nya diselesaikan disini saja."

Insane Death Angel (Pendosa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang