IV - SIDEMEN

36 2 0
                                    

“Kebiasaan weekend kamu seperti apa, Egar?” Pertanyan itu terlontar saat mobil yang dibawa Kai berhenti begitu lampu lalu lintas berubah merah. 

“Kalau nggak harus ada di venue, biasanya bersih-bersih kamar atau tidur siang. Akhir pekanku nggak jauh dari kata membosankan, Kai.” Aku menatap Kai yang mengenakan kaus putih polos dengan celana pendek chino berwarna khaki sementara kacamata hitam melindunginya dari pancaran matahari Bali yang bersinar cukup terik hari ini. “Kamu sendiri?”

Dia menyunggingkan senyum tipis ketika menoleh. “Weekend-ku nggak sealim kamu.” Kai kemudian tertawa kecil. “Kalau ada yang ngajak, biasanya clubbing. Kalau nggak, paling nongkrong di beach club atau ke gym.” Dia terdiam sebentar. “Tapi aku nggak sampai mabuk kalau clubbing. Aku nggak mau kamu punya pandangan aku suka minum,” tambahnya cepat seolah jika tidak melakukannya, ada yang kurang dari kalimatnya. 

Tenggorokanku tiba-tiba saja kering. 

Sejujurnya, aku tidak peduli jika Kai sampai mabuk ketika clubbing. Bukankah itu salah satu alasan orang pergi ke klub? Fakta bahwa dia tidak ingin aku punya penilaian seperti itu cukup menghangatkan hatiku.

“Biasanya berapa lama kamu harus di venue?”

“Sampai acara intinya selesai.”

Jawabanku ternyata mengejutkan Kai. “Serius? Apa nggak bosen?”

Aku mengangguk pelan. “Bosen sih awalnya, tapi itu bagian dari kerjaan. Kalau bosen, aku nggak dapat gaji,” candaku. 

“Tapi kamu nggak kenal dengan mempelai, kan? Apa nggak … canggung?”

“Mungkin karena sebelum hari H aku sudah ada di lokasi untuk mewawancarai mempelai dan orang-orang terdekat mereka. Juga untuk mendapatkan gambaran yang seutuhnya tentang pernikahan tersebut, mulai dari dekorasi, dan sebagainya. Semakin eksklusif pernikahannya, semakin lama aku harus meliputnya.”

“Aku tetap nggak bisa membayangkannya, Egar.”

Tawa kecilku mengisi mobil yang kami tumpangi. “Nggak perlu dibayangi, Kai.”

“Yang akan aku katakan mungkin terdengar gila.” Senyum Kai tersungging ketika memandangku. “Misalkan bisa, aku mau ikut kamu saat kamu meliput. Aku ingin tahu seperti apa atmosfernya.” 

“Kamu yakin?” Aku menatapnya ragu. “Kamu tadi jelas bilang pasti membosankan.”

“Mungkin karena aku belum pernah.” Dia menoleh sesaat sebelum kembali fokus pada jalan di hadapan kami. “Pendapatku mungkin berubah kalau ada di sana.”

“Selama ini orang-orang di kantor justru nggak mau kalau disuruh menemani aku, kecuali fotografer. Seperti kamu bilang, acaranya membosankan.”

“Kalau aku lagi nggak sibuk dan memang boleh jadi plus one, please let me know.”

“I’ll keep that in mind.”

Sejak menyetujui ajakan Kai ketika kami makan di The Brick, pria itu tidak pernah absen mengisi kotak pesanku setiapa hari. Sekalipun tidak ada kata-kata Kai yang menunjukkan antusiasnya, aku bisa menangkapnya dengan jelas, terlebih pesan-pesannya selalu berisi tempat-tempat yang menurutnya pantas dikunjungi. Hanya saja, aku menganggap destinasi yang dikirimkan Kai pasti akan ramai saat akhir pekan tiba. Aku lantas teringat satu tempat di daerah Karangasem yang pernah ditunjukkan Bruce.

Seperti dugaanku, Kai belum pernah mendengar Sidemen begitu aku mengusulkan kami pergi ke sana. Kami akan waterfall hopping—mengunjungi beberapa air terjun—dalam perjalanan menuju Sidemen sebelum bermalam. Ide menginap sebenarnya datang dari Kai. Salah satu saudara dari rekan kerjanya di hotel, baru saja membuka penginapan kecil, dan mendengar itu, Kai berinisiatif untuk langsung memesan satu malam. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 10, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

BEST MAN (AVAILABLE ON KARYAKARSA)Where stories live. Discover now