I - THE INCIDENT

80 5 1
                                    

Usahaku mengurangi nyeri jelas tidak berhasil. Namun aku tetap mengurut pergelangan kaki sepelan mungkin dan berharap rasa sakitnya sedikit mereda. Harusnya aku sadar bahwa melakukannya justru memperburuk situasi. 

“Sialan!”

Memastikan tidak ada orang lain yang mendengar umpatan tersebut, mataku tertuju pada bengkak yang mulai tampak. Terkilir jelas tidak masuk dalam agenda pagi ini. Apalagi sebelum pergi ke pantai, mulutku merapalkan janji untuk lebih sering berolahraga. Alasannya karena napasku mulai pendek sekalipun tidak merokok. Kecelakaan kecil ini terpaksa membuatku untuk menarik kembali sumpah yang sudah terlontar. 

Tidak ada pilihan selain memanggil Bu Broto untuk datang ke indekos. Perempuan setengah baya asal Solo itu menjadi tujuan utama tiap kali tubuhku memerlukan pijatan ajaibnya. Membayangkan kalimat yang mungkin diucapkannya nanti, berhasil meloloskan tawa dari bibirku. Ceroboh merupakan kata favorit Bu Broto untuk menggambarkan setiap insiden yang mengakibatkan ototku tertarik atau seperti yang baru terjadi.

Menikmati angin untuk sekadar mengeringkan keringat, pandanganku menyapu pantai Seminyak sebelum jatuh pada sekumpulan pria yang sedang bermain bola. Menggeser pantat, tatapanku tidak bisa lepas dari mereka. Ada enam orang, dan semuanya bertelanjang dada. 

Aku menelan ludah. 

Teriakan mereka sayup-sayup tertangkap telingaku, tapi terlalu sulit memahami kalimat yang mereka serukan. Tanpa bisa ditepis, pikiranku langsung menciptakan adegan yang sangat tidak pantas muncul dalam kondisiku seperti ini. Aku menggeleng, berharap bayangan itu segera enyah. 

Begitu bisa mengontrol fantasi tidak senonoh tersebut, aku memutuskan pulang. Tidak ada gunanya diam di sini sembari berharap akan ada yang menawarkan bantuan. Setelah hitungan ketiga, aku bangkit sepelan mungkin. Mengembuskan napas lega, pekerjaan rumah terberat adalah mencapai tempat parkir. 

Godaan untuk tetap di tempat begitu luar biasa saat aku mulai berjalan. Mulutku komat-kamit menghitung langkah hingga tidak menyadari jarak dengan pria-pria yang telah melahirkan angan-angan tadi, begitu dekat. Keberanian mengangkat wajah lenyap karena aku khawatir akan menunjukkan ekspresi yang mustahil untuk dikontrol. Dengan tetap menunduk, aku terselamatkan dari kejadian memalukan yang mungkin terjadi. 

Tentu saja, dugaanku salah besar. 

Tanpa bisa dihindari, bola yang semenit lalu masih diperebutkan enam pria tampan, melayang ke arahku dan dengan cepat menghantam tulang keringku cukup keras.

Dammit!

Aku bahkan tidak lagi peduli jika reaksi tersebut bisa terdengar sampai ke Nusa Dua. 

Membayangkan warna yang akan menghiasi kulitku nanti, susah untuk tidak meloloskan tawa miris. Setidaknya, aku berhasil menghindarkan diri dari jatuh terjerembab atau telentang di depan pria-pria yang saat ini pasti memandangku. Alasan yang kuat untuk terus menunduk. 

Namun dari sudut mata, aku mendapati salah satu dari mereka berjalan menghampiri. Panik mulai menjalariku hingga lupa bahwa tragedi dihantam bola bukanlah satu-satunya yang menimpaku. Hanya satu langkah yang bisa aku ambil sebelum merintih kesakitan. 

Jika pria yang mendekatiku bisa mendengar rentetan kalimat tidak senonoh yang terucap dalam hati, dia pasti akan mundur teratur.

“Kamu baik-baik saja? Aku nggak sengaja. Aku minta maaf.”

Keyakinan bahwa enam pria yang aku lihat tadi semuanya orang asing, terpatahkan. Secara bertahap, mataku memperhatikan jari kakinya yang penuh dengan pasir, betisnya yang terlihat kokoh, rambut tipis yang tumbuh di bawah pusarnya dan menghilang di balik celana pendek hitamnya, perut yang tidak menampakkan six pack—tetapi berhasil membuatku menelan ludah—dan dada yang sepertinya menjanjikan sandaran yang nyaman, apalagi basah oleh keringat, hingga kemudian aku menatap wajahnya yang menunjukkan ekspresi khawatir.

BEST MAN (AVAILABLE ON KARYAKARSA)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant