THE AFTERNON BLUES

144 11 0
                                    


Aku melepaskan napas yang tertahan begitu memijak lantai di luar ballroom. Angin yang berembus pelan dengan cepat mengusir gerah yang menyerang tubuhku. Lagu milik Bryan Adams dan Barbra Streisand yang dimainkan band pengiring berpadu dengan keriuhan tamu undangan, tidak lagi terdengar. Niat untuk beranjak sejenak dari ruang yang menggemakan riang tersebut semakin kukuh ketika satu baris kalimat kemenangan diarahkan khusus kepadaku.

Mengayunkan kaki pelan, aku menjauh dari tempat yang dengan leluasa meremas perih di hatiku tanpa ampun. 

Hari ini sesungguhnya hanyalah formalitas. Satu tahun sudah berlalu semenjak aku dengan sukarela melepaskan cinta yang sebelumnya erat terkepal. Sesal yang merongrong belum juga lebur karena secuil hatiku masih menginginkannya kembali. Hanya saja, harapan itu terdengar sangat bodoh. Tidak peduli berapa besar cinta yang masih tersisa di antara kami, keputusan telah diambil dan melanjutkan hari tanpanya adalah konsekuensi yang wajib aku tanggung. 

Tentu naif jika aku mengharapkan segalanya akan mudah setelah ini. Ada begitu banyak kenangan yang terkumpul selama kami bersama. Cepat atau lambat, memori tersebut akan menjadi pengingat kebodohanku yang sesungguhnya. 

Waktu yang dibutuhkannya untuk menemukan setelan yang sesuai tiap kali kami keluar rumah, umpatan yang mengisi rumah jika kakinya terantuk sesuatu, atau genggaman tangannya yang sering meluluhkan bimbang, adalah sedikit dari hal kecil tentangnya yang mustahil sirna.

Dari mana aku harus mulai membangun kembali hidup?

Pertanyaan itu terus mencecarku tanpa jeda. Membuka hati dengan segera tentu bukan jawaban yang aku cari. Terlebih perasaanku kepadanya akan selalu ada, tidak peduli kami telah berpisah. Aku pun ragu ada pria lain yang akan mampu menggantikan tempatnya. 

Egar, don’t you love me anymore?

Saat menatap sepasang matanya yang basah, aku berharap bisa melemparkan tali yang bisa menarik kami keluar dari kubangan rasa bersalah yang mengimpitku. Namun aku tidak bisa. Dia menunduk kalah menyadari diam yang aku berikan. Semua mimpi indah yang pernah ingin kami wujudkan tumbang seluruhnya. Aku ingin dia membenciku karena sudah mencampakkan hubungan kami. Dengan begitu, dia tidak perlu tahu bahwa pilihan melepasnya juga menghancurkan hatiku.

Sampai dia beranjak, tubuhku tetap membeku. 

Angin pantai yang berembus cukup kencang mendorongku untuk mengendurkan dasi. Jika saja tidak harus kembali ke ruang resepsi, aku pasti sudah menanggalkan sepatu dan membenamkan kaki sedalam mungkin ke pasir. Memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana, tatapanku tertuju pada matahari yang mulai merendah. 

Pandanganku menyapu orang-orang yang mulai mendekati bibir pantai untuk mengambil foto. Mereka tampak tidak acuh dengan kehadiranku, mungkin menganganggapku aneh karena mengenakan jas dan celana panjang ketika udara Bali sepanas ini. Mataku lantas mendarat pada satu hotel yang letaknya tidak jauh dari tempatku berdiri. 

This is where we first met. Do you remember that?

Dia selalu mengingatkan tentang pertemuan kami yang jauh dari kata spesial. Bahkan setiap kali tanggal itu datang, dia akan mengajakku berjalan melewati hotel berbintang lima tersebut untuk mengenang kembali pagi yang ditakdirkan menjadi perkenalan kami. Waktu boleh saja menjadikan lokasi yang dulunya tidak terurus menjadi sebuah hotel mewah, tetapi kenangan kami akan selamanya tertanam di sana. 

Apakah dia sengaja memilih tempat perayaan pernikahannya di sini untuk menghukumku?

Menelan ludah, sudut mataku menangkap pergola yang beberapa jam lalu menaunginya untuk melafalkan sumpah sehidup semati. Kami pernah bertukar janji serupa meski hanya disaksikan laut dan kelamnya malam. Tidak ada tepuk tangan yang mengiringi kami. Mencerap dirinya mengutarakan kesediaan untuk menemani pasangannya dalam suka dan duka, sehat dan sakit, kaya dan miskin, hingga maut memisahkan, melindas hatiku yang sudah remuk. 

Gemuruhnya gulungan ombak menggelandangku kembali ke senja yang telah menunjukkan tanda-tanda menggelap. Ingin rasanya pulang dan mengunci diri di kamar, menenggelamkan diri pada kesedihan. Dia tidak akan sadar jika aku tiba-tiba lenyap dari kerumunan tamu yang bergantian memberinya selamat. Dia tertahan oleh sebuah kewajiban yang akan menghalau keinginannya untuk mencariku. Tidak ada yang menggangguku di sini. Aku aman. 

Aku hampir terjengkang ketika sebuah benda membentur sepatuku. Indra penglihatanku mengikuti benda bulat pipih tersebut menggelinding pelan sebelum mendarat. Karena masih dalam jangkauan, aku dengan segera mengambilnya. Memegang Frisbee, kepalaku langsung terangkat untuk mencari pemiliknya. 

“Sorry, that’s mine.”

Mengulurkannya kepada pria bertelanjang dada yang hanya berjarak beberapa jengkal, aku menyunggingkan senyum tipis. Wajah, kulit lengan, dan dadanya terlihat sedikit memerah—mungkin karena terlalu banyak berjemur di bawah matahari—kendati terang mulai redup.

“Thanks!” ucap pria itu.
 
Dalam hitungan detik, pria tersebut sudah membalikkan badan sembari berlari kecil meninggalkanku. 

“Egar!”

Mataku terpejam, mengetahui dengan pasti pemilik suara yang memanggil namaku. Jantungku berdetak semakin cepat menunggu sosoknya menghampiriku. Aroma parfum yang hanya dipakainya untuk acara khusus, merayap mendekat. Mataku masih terpejam, bahkan ketika dia mengajukan satu pertanyaan yang aku duga akan dilontarkannya.

“Egar, are you trying to run away from me?”

BEST MAN (AVAILABLE ON KARYAKARSA)Where stories live. Discover now