31.Fatalities, Again.

2 0 0
                                    

Raihan sedang melakukan peregangkan otot ketika melihat Arai sibuk memberi pakan kepada ayam-ayam peliaraannya. Pemuda blasteran Indo-Inggris ini kemudian menapak tanah.

"Pagi Arai!"

"Pagi juga Ray ...!" Pemuda itu sedikit menoleh ke arah datangnya Raihan lantas kembali keaktifitas semula. "Yang lain belum bangun?"

Raihan mendekat. " Sudah, tapi masih sibuk sama urusan masing-masing. Loli lagi bantuin Caca kepang rambut, Bang Bayu lagi nunguin Bu Marni selesai mandi dan Mulyo .... dia masih ngumpulin nyawa. "

Arai terkikik geli menyaksikan ekspresi Raihan yang memperagakan orang yang masih terkantuk-kantuk.

Matahari sebenarnya belum sepenuhnya muncul---jam tangan saja masih menunjukkan pukul setengah enam. Tetapi suasana perkampungan ini sudah cukup ramai.

Sembari menunggu rekan-rekannya siap, Raihan memilih menemani Arai memberi makan unggas-unggasnya. Dua pemuda ini lalu hanyut dalam obrolan basa-basi ringan. Selepas itu, Arai mengajak Raihan untuk berkeliling kampung sekalian lari pagi sambil menunggu waktunya makan pagi.

Perkampungan ini masih termasuk dalam cagar alam gunung Niut dan bukan pula suku yang benar-benar tertinggal peradaban. Anak-anak sampai remaja telah mengenakan pakaian biasa, beberapa pemuda sudah di sekolahkan seperti Arai contohnya, untuk mengisi perut perkumpulan ini tidak terlalu bergantung pada hasil buruan dan meramu di dalam hutan, sebaliknya mereka telah mengenal sistem pertanian dan perkebunan. Bahkan mereka bisa memproduksi padi sendiri dengan teknik manunggal. Yang mana hasil dari pertanian itu akan di jual setiap dua minggu sekali di pasar kaki gunung.

Kendati demikian, adat istiadat suku dayak masih terjaga apik, hampir seluruh warga masih menatto tubuh mereka dan para perempuan mengenakan pemberat di kedua cuping telinga.

Sepanjang jalan, Raihan menyadari tatapan tak bersahabat dari sebagian warga desa. Dia tidak bisa abai begitu saja apalagi setelah mendengar kenyataan pahit dari Arai malam sebelumnya.

Sikap awas para penduduk dimulai sekitar dua tahun yang lalu saat sekelompok pria mulai menebangi pohon di gunung Niut. Awalnya semua berjalan baik-baik saja sampai para tetua suku menyadari ada yang salah dengan keadaan alam, cuaca semakin panas, ketika hujan turun air bah seakan menerjang dari puncak, sampai kepada tingkah laku binatang liar semakin agresif, serbuan terhadap perkebunan dan pemukiman kian meresahkan.

Kisruh kian menjadi-jadi tatkala koloni suku dayak pedalaman lainnya turun ke desa Arai. Dari orang-orang itu memberi kesaksian bahwa pemukiman mereka tergusur karena adanya penebangan liar.

Di dorong rasa persaudaraan yang kuat, pada akhirnya beberapa tetua adat memilih turun gunung untuk menemui pemerintah setempat untuk difasilitasi pertemuan dengan pemimpin para penebang liar. Entah apa yang terjadi saat negosiasi tersebut sebuah kesepakatan terjadi tetapi Arai merasa keuntungan masih memihak banyak pada kubu seberang.

Tingkat kepercayaan suku pedalaman turun drastis. Kondisi hutan semakin gundul. Merasa mengandalkan pihak ketiga tidak membuahkan hasil pada akhirnya perang dingin terjadi antara dua kubu ini.

Hingga suatu saat Saiful Darwawi datang dan melakukan ekspedisi beberapa bulan yang lalu, tindakan jurnalis ini membuahkan hasil yang cukup signifikan hingga aksi pembakasan liar berhenti total.

Namun seperti yang diketahui setelah pemberitaan tentang hutan gundul di Kalimantan tergeser dengan pemberitaan Raihan dan kawan-kawan, tindakkan ilegal tersebut kembali aktif.

Untuk kedua kalinya Saiful melakukan perjalanan di hutan gunung Niut. Dia sempat singgah di desa Arai dan Damang mengutus sepuluh warganya untuk mengawal petualangan Saiful. Malang tak berbau beberapa waktu sejak sang jurnalis meninggalkan pemukiman ini, seorang warga menemukan seonggok mayat hanyut di sungai. Dari atribut serta barang bawaan, seorang wanita mengklaim jasad itu adalah anaknya dan orang itu adalah salah satu pemuda yang menemani kepergian Saiful.

Raihan: The Great IssueWhere stories live. Discover now