23

6.4K 865 65
                                    

"Papa bawa apelnya, kan?" tanya seorang gadis saat Ibram baru saja tiba di rumah. Laki-laki itu mengangkat plastik yang ditentengnya. Putri semata wayangnya tersenyum bahagia. Tak hanya plastik berisikan apel pesanan Naura, Ibram juga menyerahkan plastik berisikan lauk-pauk yang dibawakan Eva. "Ini apa?"

"Tadi Papa sempat mempir dulu ke rumah teman. Kebetulan teman Papa itu punya usaha katering makanan. Dibawain makanan, deh. Kamu sudah makan?" Ibram sudah duduk di sebelah putrinya. Dibukanya simpul tali sepatu dan melepas sepasang kaus kaki hitam dari kedua kakinya. Naura mengangguk menjawab pertanyaan sang Papa. "Ya sudah. Taruh di kulkas. Besok bisa dipanasin untuk sarapan kita."

Gadis itu mengintip isi kantong kresek putih. Senyumannya mengembang seraya mengendus aroma beberapa macam makanan yang ada di dalamnya. Sebenarnya Naura sudah mengisi penuh perutnya saat makan malam bersama Mbak Emi tadi. Namun, sepertinya masih ada ruang tersisa di perutnya untuk menampung makanan-makanan itu.

Ibram yang merasa cukup lelah menyandarkan tubuh di sofa. Jam menunjuk angka 9. Ternyata lumayan memakan waktu juga perjalanan pulang dari Depok ke rumah. Naura pergi entah ke mana. Kedua matanya hampir saja menutup, tapi kembali terbuka saat mendengar suara denting sendok di piring. Putrinya kembali dengan membawa sepiring nasi dan segelas air putih.

"Diminum dulu, Pa," ucap Naura. Ia menyodorkan segelas air yang di bawanya ke hadapan sang Papa. Gadis itu mulai membuka satu demi per satu simpul ikatan pembungkus lauk-pauk. Kedua matanya berbinar terang. Masakan rumahan memang makanan kesukaannya.

"Katanya sudah makan?" cebik Ibram sambil menggoda. Laki-laki itu baru saja menghabiskan segelas air yang diberikan Naura. "Biasanya kalau sudah jam segini kamu nggak mau makan. Takut gemuk, katannya."

"Siapa yang bilang? Aku nggak pernah bilang begitu, lho," sahut Naura. Sepotong fillet kakap putih kuah kuning sudah mendarat di atas nasi. Liurnya hampir saja menetes. Terlihat begitu segar, ditambar cabai rawit jawa gelundungan. "Papa mau makan juga?" Diliriknya Ibram yang masih setia mengamatinya. Papanya menggeleng. "Ya sudah. Sisanya aku taruh kulkas untuk makan besok."

Naura begitu menikmati makanannya. Ibram berpamitan pada sang putri. Laki-laki itu menaiki satu demi satu anak tangga menuju lantai atas. Tak langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, ia justru berdiri mematut di depan cermin. Kemejanya sudah ditanggalkan. Dari pantulan cermin ia bisa melihat dengan jelas sebuah bekas luka yang pernah menggores lengannya. Ia tersenyum. Bayang-bayang hari itu terlintas, saat dirinya dan Eva memanjat pohon jambu air milik Pak Kamto—tetangga kompleks saat itu.

"Va! Jangan tinggi-tinggi. Di atas suka banyak ulatnya." Ibram berusaha mengingatkan Eva. Gadis kecil itu dengan gesitnya memanjat pohon jambu air dan mengisi penuh kantong kresek yang disematkan di batang pohon dengan jambu. "Aku mau turun. Kalau kamu masih mau di atas, terserah."

"Kamu takut sama ulat, Bram?" teriak Eva lantang dari bagian tengah pohon. Kedua tangannya masih sibuk memetik jambu dan memasukkannya ke kresek. "Kok cemen banget."

"Bukannya takut. Ulatnya ulat bulu. Kalau sampai kena badan, gatal banget." Ibram baru saja menapakkan kedua kakinya di tanah. Bocah itu meninggalkan Eva yang masih berada di atas pohon. "Sudah, Va. Sudah banyak. Lagian masak iya segitu banyaknya mau kamu makan semua."

"Uwaaaaaa! Ibram! Tolongggg aku! Aku takuuuuuut."

Seketika, Ibram dibuat panik saat mendengar teriakan melengking Eva. Ia pun kembali naik ke atas pohon. Ia berusaha untuk menggapai tempat di mana Eva bertengger. Gadis itu memekik ketakutan.

"Kenapa?" tanyanya khawatir. Eva menunjuk di mana ada seekor ulat bulu berwarna hitam berukuran besar keluar dari sarangnya. "Aku bilang apa! Turun! Kamu sok banget, sih."

Tentang Sebuah KisahWhere stories live. Discover now