BAB 8

7.7K 1.6K 175
                                    

“Mbak Lumi baik-baik saja?” Nisya memasuki kamar yang masih berantakan itu dengan hati-hati. Di tangannya terdapat nampan bulat berisi menu sarapan untuk Aluminia. Bubur dan susu.

Ah, makanan hambar itu lagi. Andai bukan Nisya yang membawanya, sudah pasti akan Lumi tepis dan lempar ke lantai.

Tidak tahukah mereka, Lumi bosan dengan menu yang itu-itu saja. Tapi entah mengapa setiap kali dinilai kambuh, hanya makanan tersebut yang akan datang untuknya.

Mengangkat pandangan dari nampan, Lumi tatap wajah lembut Nisya yang selalu tiba dengan senyum hangat. Namun mata itu tampak sedikit waswas. Nisya pasti sudah mendengar kekacauan yang terjadi subuh tadi. Para pekerja selalu bersemangat membicarakan kegilaan Lumi alih-alih bersimpati.

Berkedip dua kali, Aluminia menunduk menatap boneka beruang malang serta isian busa yang keluar dan bertebaran di lantai kamar. Tidak semengerikan ceceran darah memang, tapi tetap saja ... sama menyedihkan. Terlebih mengingat fakta bahwa selama ini Lumi selalu menganggap beruang itu sebagai ganti Pelita.

Maka tak salah bila Iron bertanya, mengapa Lumi membunuhnya?

Mengikuti arah pandang sang lawan bicara yang masih setia dengan kebungkamannya, Nisya mendesah kecil. Ia meletakkan nampan di atas meja nakas yang kosong dan berjongkok di depan Lumi yang duduk menyamping di sisi ranjang. Seprai kamar itu bahkan belum dibereskan. Tak ada asisten rumah tangga yang berani masuk, barangkali takut mendapat cedera seperti para perawatnya beberapa waktu lalu.

“Mbak Lumi bilang, Mbak nggak gila.” Nisya menyentuh kedua tangan Lumi yang hampir selalu dingin dan merengkuhnya, berusaha mengalirkan kehangatan agar Lumi tahu dirinya tidak sendirian. “Tapi, kenapa Mbak malah membuktikan yang sebaliknya?”

Kelopak mata Lumi sedikit bergetar saat mengalihkan pandangan ke arah jendela. Dia sama sekali tak membalas rengkuhan tangan Nisya. Menolak menjawab, karena dia juga tidak tahu.

“Mbak Lumi--”

“Mungkin,” jeda, mulut kecil itu membuka tapi tak ada suara, hanya suara tarikan napas pelan yang terdengar kemudian sebelum akhirnya Lumi berani melanjutkan, “mungkin memang benar bahwa aku gila.”

Genggaman Nisya pada tangan Lumi menguat. “Kenapa bilang begitu? Ke mana perginya Mbak Lumi yang bersemangat kemarin?”

Tenggelam di kolam? Atau sudah mati bersama Pelita satu setengah tahun lalu? Entahlah. Boneka beruang malang itu membuktikan bahwa selama ini dirinya keliru.

Paham arti keengganan Lumi menjawab pertanyaannya, Nisya menahan diri untuk tidak mendesak. Ia kembali tersenyum dan ikut duduk di samping wanita itu lantas mengambil segelas susu dari nakas dan menyodorkannya. “Ya, sudah. Sekarang minum dulu.”

Lumi tidak menolak, pun tidak menerima. Hanya menatap kosong cairan putih itu agak lama. Nisya yang sabar sama sekali tak mendesak, tetap di posisi menyodorkan gelas yang masih penuh itu kendati lengannya mulai pegal.

Hingga akhirnya Lumi menyerah dan mendekatkan bibirnya ke tepian gelas yang kemudian Nisya bantu.

Lumi hanya butuh ditunggu dengan sabar. Dia selalu begitu. Cangkang yang tampak begitu keras dari luar, ternyata amat rapuh dan mudah diketuk. Hanya saja tidak semua orang mengerti.

Usai membantu Lumi sarapan meski buburnya tidak habis, Nisya lanjut membereskan kamar itu. Tepat saat ia hendak keluar untuk memeriksa keadaan Rayyan yang terakhir ditinggal masih tertidur, Lumi memanggilnya.

“Ya, Mbak?”

“Bawa anak kamu ke sini.”

Itu bukan permintaan. Apalagi memohon. Nisya kenal betul seseorang yang mengajaknya bicara. Nyaris semua hal yang keluar dari bibir tipis itu merupakan perintah.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 24, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Dunia Lara (Sekuel Sayap-sayap Plastik)Where stories live. Discover now