BAB 4

5.5K 1.6K 104
                                    

Waktu berlalu selambat keong. Matahari seakan-akan berat menyeret dirinya bergeser senti demi senti ke langit barat, membuat siang Lumi terasa begitu lama. Sangat lama. Saat ia berpikir sudah seabad berlalu, ternyata itu baru satu tahun berjalan. Padahal Lumi sudah merasa gerah dan sangat tidak betah di sini. Di tengah-tengah peradaban manusia-manusia munafik itu.

Perawat dan hampir semua asisten rumah tangga Iron bermuka dua. Di depan sang tuan mereka bersikap sangat manis dan tulus ikhlas mengharapkan kesembuhan Lumi, merawat si nyonya gila dengan senyum lebar. Sementara di belakang Iron, mereka selalu menampakkan tampang masam dan membicarakan pernikahan majikannya yang cacat.

Seperti saat ini.

Lumi sedang berjemur, lebih tepatnya dijemur di halaman belakang. Dua perawat mengawasinya di kursi teras bersama seorang pembantu dan tukang kebun yang hendak merapikan tanaman bunga.

“Eh, apa kamu mendengar pembicaraan Tuan Subhan dan Mas Iron saat makan malam kemarin?” Suara yang Lumi kenali sebagai milik asisten dapur terdengar memulai, berpindah dari topik sebelumnya yang membicarakan tetangga sebelah.

Salah satu perawat Lumi menimbrungi, “Oh, waktu Pak Subhan meminta Mas Iron menceraikannya?” -nya. Yang dirujuk pada Lumi, disebutkan tanpa rasa hormat sama sekali. Seolah istri majikan mereka tak memiliki posisi lebih tinggi dari para pekerja itu. Lumi yang dibicarakan, tetap diam. Pura-pura tak mendengar. Ah, meski mereka yang membicarakannya sadar Lumi masih bisa mendengar percakapan itu sekalipun, mereka pasti juga tidak akan peduli karena berpikir ia tak akan mengerti.

Lumi gila. Itu yang dunia tahu.

“Oh ya?” Nada berat dari tukang kebun senada dengan tarikan napasnya.

“Hooh. Bu Rosaline bahkan nyurus Mas Iron poligami kalau memang tidak bersedia menceraikan si gila itu,” suara lain menambahkan. Salah satu dari dua perawat yang lebih muda. Si centil yang kerap kali berusaha mencari perhatian Iron. Mungkin dia jenis wanita kalangan bawah yang berharap bisa naik kasta dengan menjadi perebut suami orang lain.

Hah, betapa busuknya hati orang-orang yang Iron pekerjakan. Awas saja kalau nanti Lumi sudah dianggap sembuh, dia akan memecat mereka semua. Mereka semua tanpa terkecuali.

Menyadari isi pikirannya yang sedikit melenceng, Lumi mencengkeram lengan kursi roda yang ditempatinya. Mendadak merasa takut dengan dirinya sendiri.

Sejak kapan, sejak kapan Lumi berharap dirinya akan dianggap sembuh? Sejak kapan keinginan itu timbul?

Lumi sudah menyerah dengan hidup bertahun-tahun lalu. Berkali-kali ia bahkan mencoba membunuh dirinya sendiri, tapi selalu berhasil digagalkan.

Lantas, bagaimana bisa sekarang ia berpikir bahwa ... akan kembali tampak baik-baik saja dan menyingkirkan mereka?

Lumi tidak ingin lagi peduli pada siapa pun. Karena setiap kasih yang ia rasakan, selalu berhasil menghancurkannya. Tidak lagi. Tolong.

Menarik napas panjang untuk menengkan diri yang mendadak panik agar tidak mencari mangsa untuk diamuk, Lumi menyandarkan tubuh pada punggung kursi roda hanya untuk merasakan amarah yang menggelegak kemudian saat kembali mendengar percakapan di belakangnya.

“Kalau saya menjadi Mas Iron,” kata si tukang kebun, “sudah sejak lama saya tinggalkan itu Mbak Lumi. Siapa sih yang mau punya istri gila?”

Lumi mengembuskan napas perlahan. Kalau sejak awal Iron tampak seperti tukang kebun sialan itu, Lumi juga tidak akan pernah mau meliriknya. Percaya diri sekali dia!

“Nah kan, sekelas Mang Kirman saja ogah, tapi kenapa Mas Iron keukeuh tidak mau melepaskannya?”

“Dengar-dengar karena merasa bersalah. Anak mereka mati waktu Mas Iron mau pergi meninggalkan si Mbak Lumi pas ketahuan belangnya. Eh, dia jatuh kesandung.”

Dunia Lara (Sekuel Sayap-sayap Plastik)Where stories live. Discover now