BAB 5

5.6K 1.5K 121
                                    

Dia hitam, kecil dan jelek. Sama sekali tidak secantik kucing ras. Tentu saja, induknya hanya jenis kucing kampung yang Lumi temukan di pinggir jalan dalam kondisi menyedihkan. Satu-satunya makhluk yang kemudian sudi berteman dengannya, meski kadang bersikap sangat menyebalkan dan sombong.

Namun kini Catty sudah mati, hanya menyisakan seekor anak kucing yang sama persis dan kini menatap Lumi dengan berani, seolah menantangnya berkelahi. Ah, dia benar-benar anak Catty.

“Dia cantik sekali kan, Mbak.” Nisya yang ternyata suaminya Iron pekerjakan sebagai sopir mereka begitu kontak kerja dengan perusahaan sebelumnya habis, akhir-akhir ini jadi sering datang berkunjung. Hal tersebut juga atas permintaan Iron.

Wanita itu masih secerewet dulu. Meski seringkali Lumi sama sekali tak mengindahkannya, Nisya akan terus bercerita tentang banyak hal. Sesekali bernostalgia saat mereka masih tinggal bersebelahan.

Nisya juga sering menceritakan tentang Rayhan, putranya yang dulu dikandung berbarengan dengan Pelita. Beruntung sekali Nisya, meski dulu kandungannya terbilang lemah, tapi bayinya bisa bertahan.

Ah, andai Pelita masih hidup, mungkin nanti Lumi bisa menjodohkannya dengan Rayhan. Bila benar putra Nisya menuruni sifat lembut kedua orangtuanya, Pelita akan menjadi salah satu gadis paling beruntung. Sayangnya, tidak demikian.

Berusaha mengenyahkan ingatannya tentang Pelita, Lumi menatap si kucing jelek di dalam kandang kecilnya lebih seksama. Meski sedikit angkuh, anak Catty tampak begitu manis, seperti adiknya. Tanpa sadar Lumi tersenyum dan berseru spontan, “Cingta.”

“Cingta?” ulang Nisya tak paham, tapi Lumi tak menanggapi meski ia ingin mengangguk bosan. Alih-alih ia malah membuka tutup kandang dan menarik tubuh kurus Cingta yang semula sedang asyik menjilat ekornya.

Si kucing kecil sempat memberontak sebelum kemudian kembali anteng setelah Lumi menggaruk-garuk lehernya. “Cinta,” katanya lagi dengan nada lebih pelan. Membuat Nisya langsung paham dan tersenyum lebar.

“Jadi namanya Cinta?”

Lumi kembali tidak menyahut dan hanya mengelus kepala mungil si kucing hitam.

“Namanya bagus, Mbak.”

Tiga pekerja yang minggu lalu Lumi cederai sudah kembali bekerja, tapi mereka tampak sedikit menjaga jarak darinya. Baguslah. Lumi juga mual melihat wajah-wajah munafik itu.

Untuk sementara, yang Iron izinkan mendakati Lumi hanya dirinya sendiri dan Nisya. Agar Nisya bisa sering-sering berkunjung tanpa harus meninggalkan putranya, Iron bahkan meminta keluarga kecil wanita itu untuk menempati paviliun. Suami Nisya sempat menolak, karena katanya itu sangat berlebihan.

Namun, tak ada yang cukup berlebihan bila hal tersebut bisa mengembalikan keadaan Lumi. Jadilah, Nisya dan suaminya menyanggupi. Terlebih selama ini Iron cukup baik kepada mereka bahkan memberi gaji dengan nominal yang tidak main-main. Rasanya keterlaluan kalau mereka menolak membantu.

Semula, Nisya selalu datang sendiri dan menitipkan Rayhan pada pekerja lain. Tapi setelah satu minggu berlalu dan tak ada tanda-tanda Lumi bersikap kasar saat bersamanya, Nisya mulai memberanikan diri membawa sang putra.

Pertama kali melihatnya, Lumi menatap dan mengamati Rayhan lama. Lama sekali sampai membuat Nisya sempat waswas. Tapi Lumi tidak melakukan apa pun, hanya menatap sebelum kemudian berpaling.

Kedua kali membawa Raihan ke kamar Lumi, Nisya bahkan menawari Lumi untuk menggendongnya. Tapi lagi-lagi tidak memberi respon dan malah meringkuk di ranjang, sama sekali tidak mau melihat mereka. Cingta yang sudah menjadi ratu di rumah itu, tidur telentang di atas nakas, memamerkan perutnya yang gembul pada seluruh dunia dengan ekor yang sesekali digoyang-goyang.

Dunia Lara (Sekuel Sayap-sayap Plastik)Where stories live. Discover now