41. Bersenang-senang

130K 17.5K 1K
                                    

- H A P P Y R E A D I N G -

***

"Terima kasih Araya, gue pamit."

Araya terus berguling-guling di atas kasurnya dengan suasana hati yang tidak bisa ia jelaskan. Dia mengubah posisinya seketika langsung duduk di atas kasur.

"Dada gue kenapa nyesek sih anjir?!"

Araya mencoba memegang bagian dadanya yang masih terasa sesak. Dia segera bangkit dan pergi ke dapur untuk mencari minuman dingin di dalam kulkas. Ia meneguknya dalam sekali tegukan minuman tersebut.

"Kok masih nyesek? Apa gue punya riwayat sakit jantung atau asma, ya?"

Araya berdecak kesal, "gara-gara si Darren nih gue kayak gini."

Araya duduk di kursi meja makan sembari menopang dagu.

"Dipikir-pikir buat apa gue nyesek? Gue kan bukan Araya Loovany, atau jangan-jangan ini perasaannya si Aya?!"

Araya terlihat berpikir keras, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja makan.

"Si Darren ini antara sadar diri atau melarikan diri? Bagusnya sih dia sadar diri, tapi kok kesannya malah kayak melarikan diri?"

"Tau ah, pusing gue!" ujar Araya dengan kesal.

Saat itu ponsel yang berada di tangannya berdering, sebuah panggilan masuk dari Mamanya.

"Halo, dengan Araya Loovany di sini."

"Aya, gimana kabar kalian?" tanya Arumi.

"Alhamdulillah masih bisa bernapas," jawab Araya. Terdengar Arumi yang mendenguskan napasnya.

"Abang kamu udah pulang? Mama gak bisa hubungi dia."

"Udah, tapi dia minggat dari rumah."

"Minggat gimana maksud kamu?"

Suara Mamanya terdengar kaget dan tidak percaya.

"Ya minggat, Ma. Pergi dari rumah bawa koper segede gaban," jawab Araya sembari memainkan kuku-kuku cantiknya.

"Apa?! Kok bisa Aya? Kalian berantem atau gimana? Kenapa gak kamu cegah?"

Arumi bertanya secara beruntun, membuat Araya merasa pusing saat mendengarnya.

"Buat apa Aya cegah, Ma? Dia kan udah niat mau minggat, yaudah biarin aja. Barangkali dia mau belajar hidup mandiri."

Arumi di seberang sana menggelengkan kepalanya seraya menghembuskan napas.

"Kayaknya Mama harus ajak Papa kamu buat cepet-cepet pulang, gak bener ini."

"Kalo pulang jangan lupa bawa oleh-oleh," pinta Araya.

"Sempat-sempatnya kamu minta oleh-oleh, kepala Mama pusing ini mikirin kalian."

Araya tidak berbicara apapun lagi, dia hanya mendengarkan Mamanya yang terus menggerutu.

"Yaudah Mama tutup telponnya. Kalo ada kabar terbaru soal abang kamu kasih tau Mama, dia gak bisa dihubungi sama sekali."

"Iya Mamanya Aya paling cantik," ujar Araya.

"Kamu jangan ikutan minggat juga. Kalo minggat, Mama sentil ginjal kamu."

"Aya gak bakalan minggat, Ma. Kalo minggat takutnya gak dikasih warisan."

TRANSMIGRASI ARAYA [SEGERA TERBIT] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang