"Ada apa, Den?" sapa Mbok. Pemuda itu tengah berdiri menatapku.

Tampan. Lumayan.

"Sania bikin keributan di luar. Bujuk sana!"

Dia berkata padaku dengan ekspresi yang menyebalkan. Memang siapa dia? Berani-beraninya memerintahku.

"Anda siapa?" tanyaku sengaja menaikan nada suara.

Sudah ku bilang 'kan aku bukan gadis yang mudah di perintah apalagi di intimidasi. Tak akan kubiarkan orang lain berlaku sewenang-wenang padaku. Kecuali Ibu.

Dia tersenyum tak percaya aku berani menjawabnya dengan nada tinggi.

"Jelaskan Mbok!"

Pemuda itu berkata dengan ekspresi datar. Ia melangkahkan kakinya ke arah meja yang kini penuh dengan piring dessert, mencomot satu potong mangga lalu memasukkan ke mulutnya membuatku tak rela.

Mbok dengan langkah panik mendekatiku. Ia berbisik sangat pelan, membuatku memintanya mengulanginya. Tentu saja sebenarnya aku terperangah dengan apa yang barusan kudengar. Tapi aku harus berusaha tetap tenang dihadapannya kini.

"Sekarang Sania dimana?" tanyaku berusaha sekalem mungkin. Bagaimanapun aku hanya pesuruh di sini. Nggak mungkin bisa ngelawan juragan.

Dari raut wajahnya sekarang, kutebak pria di hadapanku ini adalah tipe orang yang gampang darah tinggi, sedikit mirip denganku.

Rupanya ucapanku malah membuatnya tersulut emosi.

Ngegas salah, kalem salah. Susah ternyata ngerubah imej dalam waktu seketika.

"Sari, lebih baik langsung saja ke Sania saja," Mbok menyela pembicaraan kami.

"Den Nando, maaf, Sari mungkin belum paham .... "

Pria yang di panggil Mbok dengan sebutan Nando itu memotong ucapan Mbok dengan decakan. Ia mengacak rambutnya kasar sebelum melangkah pergi meninggalkan kami, dengan tatapan sadis ke arahku.

"Jangan cari masalah sama dia .... "

Aku tak lagi mendengar suara Mbok karena aku langsung keluar mencari Sania.

*****
"Jadi ini yang namanya Sari? Sania setiap hari menyebutkan nama kamu di telefon."

Saat ini aku berada di ruangan pesta bersama banyak tamu. Itu tadi suara Tuan, ayahnya Sania menyapaku.

Aku tersenyum canggung tak nyaman. Kulirik Nyonya yang berdiri di sebelah lelaki itu menatapku.

"Sani, main sama Kakak sekarang ya."
Nyonya Farah memecah kecanggungan ini. Membuatku bersyukur karena seoalah akan terbebas dari kungkungan.

Sania langsung menggandeng tanganku mengajakku keluar ruangan. Membelah sekumpulan tamu yang sedang asyik ngobrol di teras.

"Aku cantik nggak, Kak?"tanyanya dengan senyum lebar.

Ku perhatikan seksama penampilannya. Sania hari ini memakai outfit berupa dress cantik sedengkul berwarna merah muda, warna favoritnya, kemudian ada bando yang nangkring di rambutnya yang tergerai, dan ia memakai sepatu berwarna putih.

"Cantik sekali .... " pujiku membuat wajahnya semakin berseri-seri. Dia bahkan sengaja berputar hingga dressnya mengembang, membuatku takjub.

"Hihihihi ... "Dia tertawa, begitu bahagia.

"Adek sering cerita apa ke Papi?" tanyaku. Aku penasaran dengan ucapan suami Nyonya Farah tentangku.

"Papi? Maksudnya ayah?"

Sambil mengerutkan dahi karena bingung dengan panggilan Sania ke ayahnya aku mengangguk saja, biar cepet.

"Cerita kalau adek punya kakak perempuan sekarang. Yang tiap hari ajak adek main,"

Aku manggut-manggut menyadari kalau tidak hanya Nando kakak Sania.

"Ayah bilang, adek sudah boleh sekolah...." Senyum Sania melebar hingga membuat matanya menyipit.

Aku mengernyit, "Memang selama ini kenapa adek nggak boleh sekolah?"

Wajah Sania berubah sendu. Bocah kecil itu menunduk sambil memainkan jemari tangannya. Kentara sekali kalau ada sesuatu yang membuatnya sedih.

"Ah... Kakak juga nggak pengen tahu banget kok. Adek nggak perlu jawab."
Kataku tak tega melihat wajahnya memuram.

"Ada yang jahat di sekolah adek yang lama. Masa mereka bilang, mami wanita murahan."

Tanpa kupaksa gadis kecil itu bercerita. Dia tak sadar kalau ucapannya barusan membuatku terpaku. Tiba-tiba muncul banyak pertanyaan di kepalaku.

Apa maksud ucapan teman-teman Sania?

    Sebenarnya, aku merasakan kejanggalan saat bertemu suami Nyonyaku tadi. Usia Ayah Sania sepertinya terpaut jauh dari istrinya. Nyonya Farah masih sangat muda. Baru tiga puluh tujuh.

Lalu Nando. Pemuda itu bukan lagi bocah, usianya mungkin sudah dia puluh limahan, jadi mana mungkin Nyonya Farah melahirkan di usia belasan tahun.

"Memang wanita murahan itu apa sih, Kak?"

Pertanyaan Sania sukses membuyarkan lamunanku. Aku harus segera mengalihkan perhatiannya agar tidak terus bertanya sesuatu yang tak mungkin kujelaskan.

Bagaimanapun dia masih sangat kecil untuk tahu hal itu

****

   Seperti biasa, aku bisa keluar dari rumah mewah itu setelah isya'. Kalau biasanya aku pulang dengan tangan kosong, beda dengan malam ini, Mbok memaksaku membawa kue dan bingkisan sisa pesta.

Mbok bilang dari pada mubazir di rumah ini  aku di minta menghabiskan saja. Seandainya aku tidak doyan, wanita itu memintaku membuangnya saja.

Dasar Mbok!

   Aku sedikit kepayahan memutar motor karena kue dan desert itu terlalu banyak. Hampir membutuhkan waktu sepuluh menit untukku agar bisa menuntun motorku keluar gerbang. Aku bahkan terengah-engah karenanya.

Dan ketika baru saja kunyalakan motor, tiba-tiba saja ada suara mengagetkanku.

"Pulang sekarang?"

Aku berpikir sejenak, rasanya tak asing dengan suara itu. Hingga kemudian pemilik suara itu membuka helmnya.

Dengan senyum mengembang, pemuda itu mengulang ucapannya.

"Pulang sekarang?"

Bersambung.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now