Bab 1.2. Bunda

20 1 0
                                    

Sesuai janjinya, begitu istirahat tiba, Aldo menghampiri Arya di kelas, lantas bersama-sama keduanya menuju kantin untuk sarapan. Akhirnya Arya dapat bernapas lega, karena untuk sementara tidak menjadi pusat perhatian, sebagaimana yang terjadi selama beberapa jam lalu di kelas. Menjadi murid baru di tengah tahun ajaran tidak pernah terasa menyenangkan!

"Nah, ini kantin Pelita! Dari makanan lokal sampai kuliner khas tujuh benua di dunia ada semua disini. Gue yakin lo nggak bakal kelaparan." ujar Aldo berlebihan.

Tapi ucapannya tidak sepenuhnya salah. Menu di kantin ini cukup lengkap. Terutama Arya dapat menemukan burger dan kentang goreng kesukaannya. Tapi nasi kuning di sebelahnya, terlihat lebih menarik. Terakhir kali ia makan hidangan tersebut pada acara ulang tahun sepupunya lebih dari lima tahun lalu. Hari ini ia lupakan dulu burger dan kentang goreng!

Syukurlah, stand yang menjual makanan yang ia inginkan tidak terlalu ramai. Hanya seorang murid perempuan yang sedang mengantri disana. Arya mengernyit kening, mengamati penampilan tak biasa gadis itu. Rambut hitamnya panjang hingga ke tengah punggung. Lengan dan roknya sama-sama panjang, pilihan yang jarang diambil oleh murid perempuan di sekolah ini. Punggungnya sedikit bungkuk. Dan yang semakin membuatnya terkejut, surai rambutnya menutupi hampir sebagian besar wajah gadis itu.

Namun rupanya tak hanya Arya yang terkejut, mata gadis itu turut terbelalak begitu bersitatap dengannya. Kemudian berubah mengamati ketika menyadari kehadiran Arya sebagai murid baru di sekolah ini. Dua tangan Arya gatal untuk menyingkirkan kedua sisi surai rambut yang menghalangi pemandangan rupa gadis itu.

Belum sempat Arya menegurnya, suara merdu Bianca memasuki gendang telinga. "Kamu ingin makan nasi kuning juga? Kebetulan banget, ya!" ucapnya. "Aku juga menginginkannya dari semalam." imbuhnya malu-malu. Berdiri di sebelah Arya yang telah mengalihkan fokusnya dari gadis berwajah suram barusan.

Lalu mengalirlah percakapan diantara mereka. Bianca, well, dia memang cantik. Cukup beberapa jam mengenalnya untuk tahu bahwa gadis itu juga populer di kalangan siswa dan guru. Tidak ada yang tidak mengenalnya. Sebagai teman bicara, ia juga menyenangkan.

"Oh, hai Bianca!" sapa Aldo sedikit terbata. "Kamu tumben sendirian?" tanyanya.

Demi melihat rona merah yang mewarnai pipinya, Arya tak heran jika Aldo mengaku jatuh cinta kepada gadis cantik itu.

👻👻👻

"Lo mau langsung pulang? Beneran nggak mau nongkrong dulu?" tanya Aldo sekali lagi.

Laki-laki itu menyambanginya di kelas sepulang sekolah, menawarinya pulang bersama setelah nongkrong lebih dulu di kafe bersama circle-nya. 

"Sampai ketemu besok!" sahut Arya, berjalan menghampiri mobil jemputannya.

Aldo hanya mengedikkan bahu, lantas bersama tiga teman prianya yang lain, bergerak memasuki mobil, menyusul langkah Arya meninggalkan sekolah.

"Kita langsung pulang, Mas?" tanya pak Rudi, sopirnya.

Arya menggeleng. "Ke tempat bunda."

Bunda, alasan Arya pulang ke Indonesia. Dua minggu lalu ayah menanyakan pendapatnya untuk tinggal di Indonesia. Semula Arya hendak menolak. Ia sudah betah tinggal di Amerika. Bahkan ia sudah menetapkan universitas yang hendak dimasukinya nanti setelah lulus SMA. Namun kanker tak pernah menjadi alasan yang ia duga.

Bunda mengidap kanker stadium akhir. Keinginan terakhir bunda hanyalah agar dapat tinggal bersama Arya di saat-saat terakhirnya. Dari ayah pula, Arya baru tahu bahwa bunda telah bercerai dengan suaminya yang baru. Sudah tiga bulan katanya.

"Kita sudah sampai, Mas!" ujar pak Rudi, menyadarkannya dari lamunan.

Setelah berterima kasih pada pria itu, Arya memasuki rumah sakit tempat bunda dirawat. Seingatnya, baru inilah pertama kali ia menjejakkan kaki di tempat semacam ini. Sejak kecil ia tak pernah mengalami sakit serius, yang mengharuskannya untuk berobat di rumah sakit. Tiba-tiba tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.

Arya tak mungkin salah mengenalinya. Terlebih gadis itu masih mengenakan seragam sekolahnya. Si murid perempuan berwajah suram, yang kedua sisi wajahnya ditutupi oleh surai rambut panjang.

"Kakimu kenapa?" tanyanya, menemukan bekas kotor, robek, dan darah pada bagian lutut rok yang gadis itu kenakan.

Namun bukannya menjawab, gadis itu malah menghindari tatapannya, dan terburu-buru pergi. Dasar cewek aneh!

👻👻👻

"Bunda terbangun?"

Arya menaruh buku yang semula dibacanya, menghampiri ranjang tempat ibunya berbaring. Menaikkan kepala ranjang sehingga sang ibu dapat duduk dengan nyaman.

"Kamu nggak pulang ke rumah, istirahat?" tanya bunda.

"Nanti." jawab Arya. "Bunda mau makan sekarang?"

Bunda menggeleng. Namun ia menerima segelas air putih yang Arya berikan.

"Bagaimana sekolah barumu? Betah?" tanya bunda.

"Arya suka sekolah barunya." jawabnya, meski terlalu awal untuk memutuskan pendapat tentang hal tersebut. Sekadar untuk menyenangkan hati bunda.

Benar saja, bunda tampak tersenyum puas mendengarnya.

"Maafkan Bunda. Mungkin kamu berpikir bahwa bunda begitu egois, memintamu meninggalkan ayah dan teman-temanmu di Amerika."

"Arya senang bisa pulang ke Indonesia, Bun." dustanya lagi dengan lancar.

Bunda mengulurkan tangan ke arahnya. Arya mendekatkan wajahnya, memudahkan bunda untuk mengusap dahi dan pipinya. Demi melihat senyum di wajah pucat bunda, pengorbanannya pulang ke Indonesia cukup sepadan.

"Pulang sekolah jangan langsung ke rumah sakit! Kamu juga harus bergaul dengan teman-teman barumu." Bunda menghembuskan napas kasar. "Wajahmu mirip sekali dengan ayahmu." lanjutnya dengan kekaguman.

"Pertama kali melihat ayahmu di sebuah perlombaan Fisika, Bunda langsung jatuh cinta padanya. Tubuhnya tinggi, berdada bidang, serta berparas tampan dan pintar. Tidak sia-sia Bunda terpaksa menjadi supporter tim sekolah saat itu." Bunda memulai dongeng yang telah Arya dengar ratusan kali sejak ia kanak-kanak. "Mulanya ayahmu tak menunjukkan ketertarikan. Ia mengabaikan setiap telepon dan pesan yang Bunda kirimkan. Menanggapi kehadiran Bunda di sekolahnya dengan dingin. Sampai akhirnya Bunda nekad mendatanginya ke rumah." Bunda tertawa. "Saat itu ayahmu begitu terkejut. Apalagi ketika Bunda mengaku sebagai pacarnya di depan kakek dan nenekmu!"

"Tapi cinta bisa diraih jika kita terus berusaha, Arya. Pada malam perayaan kelulusan di sekolahnya, akhirnya ayahmu setuju untuk berkencan dengan Bunda." Bunda mengedip nakal. "Sebulan kemudian Bunda tahu bahwa Bunda sedang mengandungmu. Dan ayahmu sendiri yang akhirnya datang melamar Bunda untuk dinikahi. Itu adalah hari paling membahagiakan dalam hidup Bunda. Menikahi pria yang Bunda cintai."

Lalu mengapa kemudian Bunda meninggalkan pria yang dicintainya?

👻👻👻

"Arya! Sudah pulang?"

Teguran nenek membelokkan langkah Arya menuju kamar. Ia hampiri ibu dari ayahnya itu, mencium punggung tangannya dengan hormat.

"Kamu makan malam dulu, ya? Biar nenek minta bibi untuk siapkan." kata nenek.

Arya menggeleng. "Arya sudah makan malam, Nek. Arya ingin mandi, lalu tidur."

Hampir pukul sepuluh malam, nenek pun membiarkannya pergi ke kamar. Sesuai katanya, ia mandi lalu berbaring di ranjang. Alih-alih tidur, matanya nyalang menatap gelapnya langit-langit kamar.

Alangkah sunyi rasanya jauh dari ayah dan teman-teman. Meski mereka masih menelepon dan mengiriminya pesan, tetap lain rasanya. Ia tak bisa mengacaukan lembur ayah di ruang kerjanya, menodongnya untuk bermain game bersama. Arya tersenyum mengingat kenangan tersebut, lalu kantuk membawanya tertidur. Malam itu ia memimpikan sedang bermain game dengan ayah di ruang tengah, di rumah mereka di Amerika.

👻👻👻

Handsome GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang