Bagian 8

510 61 16
                                    

Heii

Kalian bener-bener nunggu SOLITUDE ya. Makasih banget karena sudah menunggu. Aku salut banget sama antusias kalian.

Ada janji dimana aku harus melanjutkan ceritanya. Jadi tolong tunggu lagi buat publikasi selanjutnya, kita pelan-pelan selesaikan ceritanya.

_______

Malam terdengar begitu sunyi. Hewan nokturnal yang biasa keluar mulai menunjukkan eksistensi. Memamerkan suara indah mereka. Memberi tahu orang-orang, jikalau kehadirannya memanglah ada. Namun disatu sisi memberikan kesan menakutkan, karena suara-suara di malam hari sangatlah tidak diharapkan.

Televisi besar itu menyala di dalam gelapnya sebuah rumah mewah kawasan distrik perkotaan. Waktu sudah melesat dari jamnya dini hari. Sudah sepantasnya orang-orang tertidur lelap karena kelelahan akibat kegiatan di siang hari. Tentunya setelah ditemani dengan wine dan beberapa cemilan. Mengantarkan kenyamanan bagi dua insan yang tengah dimabuk kasmaran.

Tapi wanita yang tengah di dekap oleh pria matang itu masihlah membuka mata. Memaku tanpa sorot pada televisi besar di depannya. Ia semakin mengeratkan selimut yang membungkus dua tubuh. Mencari posisi lebih nyaman di dada si pria.

"Ku kira kau ikut tertidur." Suara serak khas seorang bangun tidur menginterupsinya. Ia melirik sekilas sosok itu, kemudian kembali masuk ke dalam pelukan.

"Ah, tidak. Hanya ada sedikit yang menganggu pikiran."

Si pria matang, berusia hampir setengah abad mulai merenggangkan otot. Sedikit menggagu kenyamanan si wanita. Namun ia abai, memilih untuk menguap dan mengusak wajah. Ia menenggakkan tubuh, lalu menatap wanita yang dicintanya.

"Tentang gadis kecil itu?" Tanyanya hati-hati. Wanitanya sedikit sensitif jika ditanyai tentang itu.

Si wanita mengangguk singkat. Ia menundukkan mata, tak mau menatap mata kelam itu.

"Aku hanya tidak percaya, dia melakukan hal sekeji itu. Sepanjang karirku di dunia malam, tak pernah sekali pun aku melakukannya— sampai aku bertemu dirimu." Cicitnya diakhir. Ia memalu, mengingat kencannya bersama sang kekasih.

"D— dia gadis yang baik setahuku. Obsesinya hanya tentang uang agar dia bisa diterima dikeluarganya. Terlebih dia memiliki kekurangan." Lanjutnya yang dengan cepat merubah ekspresi.

Helaan nafas panjang terdengar. Di acara lelahnya, ia masih menyempatkan diri untuk tersenyum menenangkan. "Kita tidak tahu jalan pikir setiap manusia seperti apa. Mungkin karena obsesinya dengan uang itulah, ia melakukan itu—"

Pria itu sempat tercekat sesaat, hingga kemudian melanjutkan kalimat. "—sama seperti putra kita dengan obsesinya."

"Dia putramu. Tolong jangan merubah. Dia pasti sangat kecewa akan hal itu."

"Dia akan. Berapa kali aku katakan, hm? Setelah mengantongi izinnya, aku akan langsung menikahimu." Interupsinya cepat. Meraih tangan lentik itu lalu menciumnya dalam.

Si wanita kembali membuang pandang. Bukannya ia tak percaya akan kesungguhan cinta si pria matang ini. Hanya saja, mengantongi izin setelah mendapat ucapan perebut suami orang dari sang putra bukanlah hal mudah.

"Apa yang kau cari dariku? Aku bukanlah wanita berkelas yang berhak bersanding denganmu. Memberimu keturunan saja aku tidak—"

"Sssttt... Aku tak meminta apapun darimu. Cukup kita saling menjaga dan menerima."  Ia segera menangkup wajah yang mulai berkaca-kaca itu. Mencium keningnya. Menyalurkan seberapa besar rasa cintanya.

Keduanya diterpa perasaan menggebu. Tentunya, bukan hanya remaja saja yang bisa merasakan hal seperti itu, mereka yang berusia dewasa saja masih sering merasakannya. Itu wajar, merupakan berkat Tuhan yang tak terelakkann. Hanya tentang, bagaimana cara kita menyikapinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 03, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SOLITUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang