Bagian 2

522 114 14
                                    

Gerakan kalian sangat cepat untuk menanti publikasi ini.

Kalian readers terbaik:)

_______

Gelap menjadi hal biasa baginya sejak dua tahun terakhir. Mendalami dunia malam dengan dentuman musik yang selalu memekakkan telinga adalah makanannya sehari-hari. Hingar bingar para pencari kesenngan pun tak luput ia jumpai setiap harinya. Membuat ia muak dan iri. Melihat bagaimana orang-orang itu leluasa dalam melepas beban. Bahkan kerap kali melecehkan dirinya.

Ia benci pada dirinya.

Tak cukupkah ia dipandang sebelah mata oleh orang disekitarnya. Baiklah, ia akui itu pandangan orang-orang itu tak benar. Dalam club itu ia hanya bekerja. Tak lebih dan tak kurang. Bahkan berfikiran untuk melayani hasrat orang-orang itu pun tak pernah terbersit di pikirannya. Tugasnya hanya mengantar minuman, tersenyum manis, walau sesekali mendapat sentuhan senonoh. Lalu mendapat tip karena menjual senyum palsu itu.

Hanya itu.

Tapi mengapa? Dengan lancangnya pria itu datang. Menghancurkan segala hal yang telah ia pertahankan. Hingga menjadikan seonggok daging dalam tubuhnya.

Pening kembali mendera. Winter melambai pada Taeyeon karena sudah mengantarnya hingga di depan rumah. Senyum lirih ia sampaikan, sebagai ucapan terimakasih karena wanita itu sudah sangat baik padanya.

"Masih ingat pulang?"

Winter membelalak begitu mendapati eksistensi sang ibu— Irene. Tengah melipat tangan dan menatap sinis padanya. Memblokadenya untuk masuk karena wanita selaku ibunya itu menutup jalannya masuk.

"Maafkan aku ibu. Aku mesti mengerjakan tugas kelompok terlebih—"

Plak!

Winter membelalak. Ia reflek memegang pipinya yang baru saja terkena tamparan. Perih merambati dari tempat tersebut. Semakin sakit, saat hatinya pun ikut tergores karena ucapan tak pantas seorang ibu pada putrinya.

"Cih, mana ada tugas kelompok yang dikerjakan setiap hari. Kau benar-benar anak yang bebal." Irene merotasikan bola mata. Melihat keadaan putrinya yang sudah sangat berantakan karena kelelahan mencuci piring. Tapi ia tak tahu itu, ia hanya menangkap ucapan putri pembawa sialnya saja.

"Tak ada makan malam untukmu!" Final ibunya. Kemudian melenggang pergi tanpa sedikit pun menatapnya.

Winter tertunduk. Ia mengepalkan tangan dengan wajah yang sudah berembun, siap menjatuhkan bulir beningnya.

Memang apa yang ia bisa. Ia hanya gadis lemah dan tak berani membantah. Lagi pun, pernahkah ibunya itu memberinya makan setelah peristiwa 5 tahun terakhir.

Ia menyeka satu bulir bening yang mengalir. Membuatnya tersadar ada setetes darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Ah, pasti cincin pernikahan ibunya yang tergores. Untung hanya pada bibir, bukan pada anggota tubuh lain miliknya, seperti mata mungkin.

Tak gentar, ia melangkahkan kaki. Kembali ucapan syukur ia panjatkan, karena sang ibu masih memperbolehkannya masuk. Ia tak mau kejadian lama terulang. Saat dirinya terpaksa untuk tidur diluar sendiri dan kedinginan. Lalu keesokan paginya demam, tanpa seorang pun mengetahui.

Karena menurutnya, sendirian lebih menakutkan dari apapun.

"Eoh Winter kau baru pulang?" Itu suara kakaknya. Yang melenggang, baru saja keluar dari kamar mandi.

Gadis itu kembali menunduk. Kemudian mengangguk. Tak mau membuat kakaknya khawatir karena memar dan luka gores di bibirnya.

"Kenapa baru pulang?" Kembali Karina bertanya. Ia berjalan untuk mendekati sang adik.

SOLITUDEWhere stories live. Discover now