Bab 31 - Pengumuman Hasil Ujian Sekolah Kedokteran

154 33 3
                                    

Waktu perlahan berlalu. Beberapa minggu keluarga Adinata lewati sambil menanti hasil ujian Arya masuk GHS. Meski pun tes telah dilalui tetapi Arya tidak semerta-merta berhenti belajar karena jika ia lulus masuk dalam program pendidikan dokter itu artinya ia harus kembali berkutat dengan jurnal-jurnal ilmiah kedokteran. Maka dari itu Arya tidak ingin kehilangan ritme belajarnya.

Maria sendiri lebih banyak belajar tentang mengurus rumah tangga. Ia banyak membantu di dapur karena sebagai perempuan, memang ia disuruh untuk banyak melakukan pekerjaan sehari-hari. 

Meskipun begitu, Maria kadang-kadang masih memperoleh kesempatan untuk belajar bersama Arya karena pemuda itu sering meminta izin Ibu untuk membawa Maria ke perpustakaan dengan alasan menemaninya belajar. Arya beralasan bahwa ia sudah berkonsentrasi kalau belajar sendirian di perpustakaan dan melihat wajah Maria di dekatnya akan membantu Arya untuk menjadi lebihi bersemangat.

Hari pengumuman hasil ujian masuk GHS akhirnya tiba. Keluarga Adinata tengah menanti dengan penuh harap. Ibu yang selama ini mengira anaknya tidak akan pernah menjadi mahasiswa, pelan-pelan mulai merasakan dadanya dipenuhi pengharapan bahwa Arya yang pemalas ternyata bisa menjadi orang.

Membayangkan anak tunggalnya bisa menjadi seorang dokter terbukti mampu menghibur hati ibu yang selalu bersedih sejak ditinggal mati suaminya.

Pengumuman kelulusan dikirim melalui surat pos sehingga Arya beserta keluarga bisa menunggu hasil ujian bersama-sama di rumah. Kakek Adipati Haryakusumah sendiri ikut berkunjung menanti hasil ujian cucu laki-laki satu-satunya itu.

"Seharusnya surat dari kantor pos sudah datang dari tiga puluh menit yang lalu," gumam Kakek sambil menikmati kopinya.

Arya tengah berjalan mondar-mandir di depan teras rumah menunggu Pak Pos yang bertugas. Ibu juga merasa resah, wanita itu duduk dengan gugup menatap punggung putranya yang tak bisa diam.

Untuk Maria, ia terlihat tenang seperti biasa. Ia duduk diam memperhatikan kuku jarinya yang mulai terlihat panjang. Meskipun di luar terlihat tenang, tetapi jantungnya berdegup sangat kencang.

Awalnya Maria sangat yakin bahwa Arya mampu mengerjakan soal ujiannya dengan baik. Tetapi seiring berjalannya waktu pemuda itu tiba-tiba mengingat satu atau dua nomor yang ia bilang bahwa ia tidak yakin apakah jawaban yang ia tulis sudah benar atau tidak.

Arya sering muncul tiba-tiba dengan keadaan panik. Entah itu saat mereka bersepeda, pemuda itu tiba-tiba akan mengerem mendadak dan berseru, "Ya ampun, Maria! Bagaimana jika aku salah menghitung angka pembilangnya?"

Atau saat mereka makan malam bersama, tiba-tiba Arya akan meraih buku kimia kemudian bertanya. "Maria! Apakah kau yakin reaksi kimianya seperti ini?"

Pernah saat mereka berkunjung ke Ciwidey dan menemani Arya memancing tiba-tiba saja Arya berteriak, "Astaga, aku rasa aku salah menghitung berat masanya!"

Tapi yang paling mengejutkan adalah saat mereka kembali ke rumah, Maria tengah menyulam bersama Ibu di ruang tengah sambil mendengarkan lantunan lagu dari radio kemudian Arya muncul membuat kehebohan. Pemuda itu muncul berteriak, dengan badan basah yang hanya dililit oleh handuk dan rambut penuh akan busa.

"Mariaaaa!!! Bagaimana ini? Sepertinya aku terbalik menjelaskan Hukum Mendel I dan II!?" serunya yang hampir terpeleset karena ia berlari dari kamar mandi dengan keadaan basah.

"Arya! Ibu akan menghukummu jika kau berteriak sekali lagi!" tegur Ibu menaikkan suaranya membuat Arya lari terbirit-birit ke belakang untuk menuntaskan mandinya.

Sejak saat itu Maria jadi ragu, apakah Arya benar-benar bisa mengerjakan ujiannya atau tidak.

Kakek hanya tersenyum melihat cucunya itu yang tak berhenti berlalu lalang di depan teras. Ia beralih ke arah Maria yang duduk diam di sampingnya.

"Apakah Maria yakin bahwa Arya bisa lulus?" tanya Kakek dengan lembut.

Maria menatap kakek sejenak. Meskipun ia ragu tetapi ia tidak bisa menunjukkannya.

"Arya akan lulus," jawab Maria singkat.

Kakek mengangguk. "Jika Maria berkata demikian, pastilah Arya akan lolos." Jawaban Kakek, entah mengapa bisa menghapus keraguan Maria. Gadis itu tersenyum simpul. Kini hatinya bisa lebih tenang.

Arya yang mulai lelah berjalan kian kemari berjam-jam lamanya, menegakkan tubuhnya seketika saat mendengar suara kring kring! dari kejauhan. Matanya mencari keberadaan seorang pria bersepeda dengan tas besar.

"Pak Pos datang!" seru Arya heboh kemudian berlari menuju gerbang rumah.

Ibu pun berdiri cepat menanti Arya yang menemui seorang tukang pos. Kakek dan Maria masih duduk menanti di kursi dengan sabar.

Arya menggenggam jarinya dan menggerakkan kakinya antusias saat tukang pos itu tengah merogoh tas besarnya yang penuh akan paket beserta surat.

"Untuk.... Raden Dyah Arya Adinata," ujar Pak Pos setelah membaca nama penerima yang tertera di depan amplop coklat itu.

"Benar!" jawab Arya tak sabar.

Setelah menerima amplop berlogo kan Geneeskundige Hoogeschool te Batavia dengan namanya di sana, Arya berlari kencang masuk ke rumah dan langsung duduk di antara Maria dan Kakek. Ibu cepat-cepat menyusul berdiri di belakang kursi untuk ikut melihat hasil ujian Arya.

"Oke, semua hasil belajarku ada di surat ini. Mari kita buka dengan tenang," ujar Arya dengan nafas yang tersengal.

Pelan-pelan Arya membuka segel surat dan mengeluarkan selembar kertas putih yang dilipat lebih kecil dalam ukuran persegi panjang. Sekali lagi Arya menghirup udara panjang-panjang kemudian dihembuskannya perlahan. Maria dan Kakek ikut melihat di sisi tubuhnya.

Tak ada tulisan yang terlihat dari kertas putih itu. Tangan Arya bergetar mencoba membuka lipatan kertas tersebut. Maria merasakan jantungnya berdebar sangat cepat. Begitu juga Kakek yang telah sedia mengenakan kacamata membacanya. Ibu juga telah mencondongkan badannya penasaran akan isi dari surat itu.

Arya pun membuka lipatan surat tersebut dalam sekali hentakan. Ia memindai cepat tanpa membaca pembuka surat dan matanya seketika terbuka lebar membaca satu kata yang tercetak tebal bertuliskan 'LULUS'

"A-aku ... aku lulus!?"

Ibu menjerit bahagia kemudian menekap mulutnya cepat saat dirasa suaranya melengking terlalu tinggi. Ia bertepuk tangan terharu kemudian memeluk putranya dari belakang. Arya yang masih tak percaya membaca surat itu sekali lagi dan melihat ke arah Maria dengan mata berkaca-kaca. Maria pun begitu, meskipun tidak seheboh ibu tetapi matanya ikut berlinang air mata haru.

"Aku berhasil!" ujarnya merasa bangga akan dirinya sendiri.Maria mengangguk bahagia. Salah, Arya tidak berhasil seorang diri. Ia lulus karena bantuan dari Maria! "Marria, kita berhasil!" ujar Arya penuh haru.

"Selamat, Arya. Kita harus menyelenggarakan momen yang membahagiakan ini!" ujar Kakek.

Arya memeluk kakeknya erat. "Terima kasih, Kakek!"

"Hm-hm, kita harus menyelenggarakan pesta di Ciwidey. Kita panggil seluruh keluarga untuk melaksanakan syukuran bahwa Arya telah berhasil masuk sekolah kedokteran," sambung Kakek yang merasa bangga pada cucunya itu.

Kakek mengajak Ibu untuk menghubungi seluruh keluarga agar berkumpul di kediaman Kakek di Ciwidey. Arya masih merasa shock dan bahagia. Tangannya disentuh pelan oleh Maria. Pemuda itu pun beralih ke arah Maria dan tersenyum. Air matanya mulai turun dan ia mengusapnya kasar menggunakan lengan kemejanya.

Arya memeluk Maria erat. Akhirnya... yang ia nanti-nantikan datang juga. Arya membenci sekolah tetapi setahun terakhir ini ia telah belajar lebih keras dari siapa pun yang dikenalnya. Semuanya demi masuk sekolah kedokteran.

Semuanya demi Maria.

Raden Arya AdinataWhere stories live. Discover now