Bab 8 Di Antara Warna Ungu

Magsimula sa umpisa
                                    

"Mencari Harris, ya?" ia tersenyum ramah. Wo-ow-ow-aku bukan anak kecil yang gampang tertipu orang asing. Mempertahankan kewaspadaan, aku meneliti mereka, menduga tentang jati diri mereka dan aku frustasi sendiri karena tidak bisa menyimpulkan siapa mereka sebenarnya.

"Apa yang kalian inginkan?"

Yang memakai jaket kulit lengkap dengan celana belel robek-robek itu terlihat bahagia, sorot penuh kemenangan terpancar jelas di mata hitamnya, "tanda tangani ini."

Aku tidak tahu apa yang harus kutandatangani, sebab kertas itu kosong, itu dokumen hantu, peringatan itu berdengung nyaring memenuhi kepala.

"Atau..." ia menunjuk kea rah utara dan saat itu juga tubuh Harris yang terikat meluncur. Dari lantai tiga. Aku langsung menjerit, dan cecunguk setan itu malah tertawa bahagia.

"Kami benar-benar akan menerjunkan dia dari sana, jika kamu tidak menandatangani ini."

Apa yang sedang mereka rencanakan?

"Terjunkan saja dia!" aku berteriak, lidah dan batinku berperang. "Bunuh saja dia, kalian pikir, dia sangat berharga?" lututku bergetar ketakutan. Aku harap trik deception ini berhasil.

"Keras kepala-khas Mandala-tapi, baiklah... kau ingin dia mati, kan?" ia memberi kode pada orang yang menahan tali pengikat Harris. "Perhatikan baik-baik sebelum dia tidak bisa lagi kau temui."

Seluruh tubuhku tersulap jadi es. Harris, buka matamu, lakukan sesuatu Nawa, lakukan apapun untuk menyelamatkan Harris. Diriku memang cengeng, aku mendesah dan berteriak agar mereka membatalkan niatnya.

"Hentikan! Oke, aku akan lakukan! Apapun itu!"

Tawanya pongah. Ia mendekat dan mengulurkan kertas kosong itu padaku.

"Turunkan Harris dulu, aku akan menandatanganinya." Lanjutku dengan nada kurang meyakinkan. Rasa takut ternyata bisa membuat suara jadi parau.

Ia sangat berkompromi, dengan menggerakkan telunjuk-memberi isyarat agar Harris diturunkan. Aku lega saat tubuh cowok itu menyentuh lantai dengan pelan sehingga aku yakin tidak ada benturan berbahaya pada tubuhnya. Tapi hal lain yang kudapati, Harris memejamkan mata sementara punggung tangannya remuk dan berdarah. Rasa mual menyelimuti perutku.

Sesakit itukah kamu?

"Cepat tandatangani!"

Aku mendekat, berdoa semoga kertas ini tidak mendatangkan keburukan untuk orang-orang yang kusayangi. Setelah membubuhkan tanda tangan, pria itu menyodoriku tinta ungu lalu menekan jempolku di talenan, dan memaksaku lagi memberikan cap jempol di kertas kosong.

"Selesai." Ia menyimpan semua itu dalam kantong celana dan pergi meninggalkan kami-aku dan Harris.

***

"Ini yang namanya Harris?" Papa duduk di sebelahku, mengamati Harris kemudian menatapku.

Pertanyaan Papa hanya kusahut dengan anggukan.

"Dia pernah menemuiku."

Harris pernah menemui Papa? Untuk apa? Tidak mau terlihat penasaran, aku hanya menunduk dalam-dalam, berdoa semoga Papa bercerita lebih lanjut-kira-kira apa inti obrolan mereka?

"Dia pernah datang padaku untuk melamarmu. Makanya, Papa tahu kamu pacaran dan memindahkanmu ke pesantren sesuai arahan Ammu Athaya."

Jadi begitu kronologi ceritanya?

"Awalnya Papa menduga kepindahan Harris ke pesantren juga campur tangan Ammu Athaya, tapi ternyata tidak begitu." Ada yang berat dari suara Papa, aku tidak tahu apa itu. Hanya saja, seperti ada beban berat yang ditimpakan padanya. "Dia juga tidak tahu kalau Kyai Masnif punya anak bungsu bernama Nizam Harris. Maida, setelah ini jangan lagi berdekatan dengannya."

Luka yang Kau Tinggal Senja Tadi (Complete)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon