Bab 12 Dalang Sebenarnya

56.9K 4.5K 681
                                    


Aku duduk di undakan teras, menghela napas panjang. Seolah-olah beban yang menghimpitku bisa ikut terbang bersama udara yang keluar dari hidung. Aku menoleh ke kanan, mendongak dan kembali mengamati langit. Malam ini bintang bersinar cemerlang. Sebagian memancarkan warna putih kebiruan, kekuningan dan sebagian lagi kemerah-merahan. Langit malam seakan mengontraskan sebuah lukisan alam yang menyajikan kelam yang memukau.

Tiba-tiba aku berpikir tentang Papa yang sudah tidak bisa kulihat dengan mata fisikku. Apa alam barzah itu di langit? Apa Papa ada di atas sana? Apa Papa bahagia sekarang?

“Allahumaghfirli waliwalidaya warhamhuma kamaa rabbayani shighara.”

Aku memejamkan mata, mengatur emosiku agar stabil dan terasa lapang.  Ketika terbuka, indra penglihatanku menangkap bayangan yang familiar. Ia ada di bawah pohon jambu yang terletak sejauh 10 m dariku. Mataku mengerjap.

“Papa?” Aku buru-buru berdiri, memastikan bahwa itu memang Papa, tak sabar aku berlari. Dan yang kudapati hanya kesia-siaan. Tidak ada siapa-siapa di sana.

“Nawaila,” seseorang memanggilku, “ada apa?” Bu Mar’ah mendekat dan menatap intens padaku.

Kepalaku menggeleng, “Umi, boleh Nawaila bertanya sesuatu?”

Ia terlihat menimang, butuh lima detik untuk mengiyakan permintaanku. “Tentang?”

“Apa benar bahwa Harris bukan anak kandung Umi?” aku menatap Bu Mar’ah yang shock. Ia mundur beberapa langkah. “Umi menopause di usia 45 tahun, sementara kelahiran Harris bertepatan dengan usia Umi ke 48 tahun.”

“Dari mana kamu tahu?” Aku merasa jawaban itu tidak bersahabat.

“Apa Abah poligami? Apa Harris itu putra Abah dengan istri yang lain?” cecarku, memburu jawaban.

“Suamiku tidak pernah poligami.” Dan jawaban itu makin dingin. Aku merasa ada tembok tinggi dan tidak terlampaui memisahkan kami.

“Maaf, Umi… Nawaila terlalu ikut campur dengan masalah pribadi keluarga Umi.” Tak enak hati, aku menunduk. Biar bagaimanapun, kesalahan terletak padaku. Tidak seharusnya aku mengejar jawaban dan terkesan memaksanya.

“Kamu menantuku, jadi kupikir kamu berhak tahu cerita yang sebenarnya.” Ia sudah mengendalikan diri. Ibu mertuaku tergolong orang yang berpendidikan, jadi selalu bisa mengontrol ketidaksukaannya terhadap sesuatu. Selain itu, wanita yang sudah cukup udzur itu memilihi hati yang luas, dalam hitungan menit mampu menghilangkan ketidaksukaannya pada pertanyaanku dan dengan terbuka bercerita.

“Aku memiliki putra, namanya Harris Ramadhan, dia seusia dengan Papamu—almarhum. Harris bekerja jadi dokter di salah satu rumah sakit kota ini. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi padanya. Yang bisa kuingat hanyalah… luka tembak di perut dan kaki. Harris memintaku merawat bayi yang ia bawa sebelum menghembuskan napas terakhir.”

“Jadi?”

“Untuk alasan keselamatan, kami sepakat untuk mengasuhnya. Dan untuk alasan darurat, kami juga merahasiakan jati dirinya.” Mata Bu Mar’ah berkaca-kaca, “tapi hal buruk itu terjadi, 3 tahun lalu… Harris berkonfrontasi dengan Abahnya. Pertama kali dia menentang kami.” Sekarang wanita dengan wajah keriput itu menangis, ia tidak menutup-nutupi airmatanya. Aku segera memeluk mertuaku dengan tulus, sekedar mengalirkan energi agar ia kuat. Atau jika itu terlalu berlebihan, cukuplah Umi tahu bahwa aku di sisinya.

“Jangan dilanjutkan kalau Umi belum sanggup bercerita.”

“Tidak,” Umi menggeleng, “kamu harus tahu semuanya. Umi tidak tahu Harris bertemu di mana dengan teman barunya. Abah berniat memasukkan Harris di pesantren di Jombang, tapi dia tidak setuju dan bersikeras melanjutkan pendidikannya di SMAN 8, Abah menyetujui niat Harris dengan berat. Dia terpaksa meminta Kintan untuk mengawasi gerak-gerik Harris.”

Luka yang Kau Tinggal Senja Tadi (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang