Bab 8 Di Antara Warna Ungu

56.8K 4.4K 238
                                    


Aku memainkan jarum di telapak tangan, menekannya pelan dan segera mengangkatnya jika kulitku terasa sakit. Puas mengisi waktu luang dengan hal nggak penting, aku ganti memandangi layar ponsel yang menampilkan akun Instagram Harris. Dua jam yang lalu dia memosting foto selfi di mana dia sedang menyangga dagu di pinggir jendela mobil dengan telapak tangan menutup bibir. Hidung Harris seperti tanjakan kota Palopo. Dan yang paling mencengangkan adalah mata dan alis milik cowok itu. Sepertinya, Tuhan terlalu memanjakan Harris dengan kesempurnaan fisik.

Aku saja yang perempuan merasa iri padanya.

"Mikir apa, Dek?" Ni'am muncul membawa apel di tangan, "mana gurumu?"

"Udah selesai belajarnya, Bang." Mataku beralih pada dedaunan yang gemerisik. "Abang sendiri tumben udah pulang kuliah?"

Aku mengambil bola basket, mendrible bola kemudian melempar dalam ring basket. Failed! Bola melenting sempurna, nyaris mengenai kepala jika tinggiku bertambah 2 senti.

"Abis tes kesehatan buat melengkapi persyaratan jadi Presiden Mahasiswa," Niam menangkap bola, lalu menshootnya. Sukses! Selalu begitu, berbicara tentang akurasi, Ni'am adalah anak yang paling cermat, jauh berbeda denganku.

"Nongkrong, yuk!" ajaknya sambil jelalatan, takut ketahuan Papa barangkali. Ni'am nggak tahu kalau Papa pergi bersama Mama ke acara pernikahan entah siapa.

"Udah tobat."

Niam langsung tertawa keras, "padahal hari ini ada anak Stand Up Comedy favorit kamu di café komedi."

"Nggak mempan," kok sekarang aku udik banget, ya? Berasa anak rumahan yang culun dan terisolasi. Dan melihatku yang berubah 180 derajat, Ni'am terkekeh. Geli sekali kelihatannya.

"Ya Ilaaaahi, ada apa sih di pesantren? Perasaan dulu, Abang nyantri nggak segitunya, deh." Ia mengacak-acak rambut, kemudian melepas jubah mandi. Niam hanya memakai kolor dan langsung nyebur dalam kolam renang.

"Gimana mau mempan..., ngajakin keluar kok pake kolor? Siapa juga yang mau?" aku bersungut-sungut memandangi Ni'am yang berenang memakai gaya kupu-kupu, lantas pergi menuju teras depan setelah mengambil ponsel. Baru saja kakiku melangkah sejauh 3 meter, sebuah panggilan muncul. Nomer baru? Harris? Apa dia kangen ama aku?

Dih, kok jadi ke-GR-an gini? Buruan angkat, sisi diriku yang lain mengingatkan saat aku tenggelam dalam euphoria dugaan.

"Halo."

"Nawaila Maida Parawansa."

Ini bukan suara mantan pacarku. Tak lama dari suara berat dan serak itu, aku mendengar suara seseorang yang bertakbir dengan nada menahan sakit. Aku yakin mengenali suara itu. Otakku berdengung nyaring dan meneriakkan nama Nizam Harris. Entah kenapa, rasa khawatir menyerangku tanpa ampun terutama ketika Harris berucap 'Alahu Akbar'dan terdengar kesakitan.

"S-ssiiapaa kk-kamu?"

"Cipayung, Munjul. Hari ini atau dia kubunuh."

Otakku tidak mampu berpikir, satu-satunya yang kulakukan adalah berlari, mengambil kunci motor, tidak peduli bahwa aku belum punya SIM. Harris dalam bahaya. Harris dalam bahaya.

***

Aku mendapat petunjuk mengenai keberadaan Harris dari sinyal GPS yang dipancarkan ponsel yang menghubungiku tadi. Sebuah bangunan yang lumayan mentereng, dicat ungu pucat, halaman depan ada pohon mangga hasil bonsai. Kuparkirkan motor dengan sembarangan lalu berlari dalam rumah. Untungnya pintu tidak terkunci, begitu tubuhku masuk seluruhnya, aku disambut tepuk tangan.

"Selamat dataaang!"

Mereka semua bertubuh tinggi tegap. Sejenak aku merasa terdampar di dunia raksasa, sayangnya akulah yang jadi kurcaci. Mataku celingukan, ruangan ini kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Harris.

Luka yang Kau Tinggal Senja Tadi (Complete)Where stories live. Discover now