Bab 6 Surat Misterius dan Lamaran

61.9K 4.4K 359
                                    


Selama pelajaran berlangsung, aku memegangi perut yang terasa melilit. Ini bukan karena maag atau tidak bisa buang air besar, tapi karena datang bulan. Biasanya, beberapa bulan terakhir ini aku selalu punya masalah pada salah satu organ pencernaan ketika haid. Pagi tadi, aku sudah curhat pada Papa yang kebetulan menelpon. Lagak Papa udah seperti dokter spesialis. Papa yang biasanya tidak banyak bicara, kali ini tampil cerewet luar biasa. Mulai dengan menjelaskan tentang perlunya olahraga, makanan yang bisa mengurangi rasa sakit sampai berpesan untuk mengganti pembalut setiap dua jam sekali.

Lucunya, Mama hanya tertawa sebanyak 3 buah saat aku bertanya apa aku harus menuruti saran Papa. Tidak lama kemudian, Papa akan kembali berceramah dan berinisiatif mengirimiku email tentang penelitian beberapa orang yang kompeten di bidang kesehatan tentang bahaya tidak menjaga kebersihan diri saat haid.

Lain hal dengan Ni'am, kakak cowokku itu hanya mendesah. "Kalau kamu mau konsultasi tentang pakaian udikmu itu, kamu bisa tanya ke aku." kata Ni'am tadi. Dia sekarang sama denganku, tidak menggunakan kata elo-gue lagi. Biar lebih kelihatan sebagai keluarga yang hangat dan sopan. Aku pun bertanya-tanya, ketika orang menggunakan elo-gue dalam percakapan sehari-hari, di mana letak ketidaksopanannya? Justru elo gue melestarikan salah satu bahasa daerah; betawi.

Beda denganku yang tidak menggunakan elo-gue karena sekarang... di pesantren ini nggak ada satupun yang memakai istilah itu. seseorang harus pandai beradaptasi dan menempatkan sesuatu sesuai tempatnya jika tidak mau dilihat sebagai orang aneh. Jadi,aku memutuskan untuk mengubah sedikit demi sedikit kebiasaan anak Jakarta yang sudah mendarah daging.

"Kamu kenapa?" Gaida berbisik, ia tidak mungkin berbuat gaduh sementara di depan kelas masih ada guru yang mengajar.

"Dateng bulan, sakit banget rasanya."

Gaida manggut-manggut, "aku biasanya minum jamu tradisional. Beli aja di kantin, ada kok."

"Masalahnya, belum istirahat. Masak aku keluar kelas? Gimana ijinnya coba?" kalimat ini sangat aneh! Sejak kapan aku berpikir untuk ijin saat keluar kelas? Biasanya, aku suka bolos.

Papa benar, pesantren ini bisa mengubahku. Well, well, well... ini kayaknya kabar buruk banget! Masak aku melewati masa mudaku dengan tunduk pada aturan? Dih, kayaknya kecebong udah disulap jadi kupu-kupu, nih, makanya berefek padaku. Pada pola pikirku.

Aku nggak suka saat aku terdengar seperti Harris. Harris yang punya good manners, Harris yang sopan, Harris yang taat peraturan, Harris yang....

Aku berhenti memikirkan dan menggerutuinya karena Harris menoleh padaku. Menatapku sepersekian detik dengan mata hujannya yang tajam dan menyeramkan. Tangan kiriku mencengkram pinggiran meja.

Ya Allah, sakit bangeeet perutku.

Harris menoleh lagi, mata hujannya berubah jadi mata senja yang meneduhkan dan indah. Aku terpesona. Dan saat itu juga, bibir Harris tersenyum tipis. Idih, ngapain dia senyum-senyum sok cool gitu? Tapi, emang dia cool, kok....

Lalu Harris tersenyum, memamerkan giginya yang berderet rapi dan putih. Cowok itu menggeleng kemudian mengembalikan fokus ke depan, melihat beberapa rumus Fisika yang ditulis guru.

Aduuhhh, sakit....

Aku meringis, juga heran. Bagaimana bisa perutku tidak terasa sakit saat menatap Harris? Sementara sekarang, aku kembali kesakitan. Sepertinya, ada yang nggak beres dengan diriku. Kupandangi punggung Harris yang sekarang bergetar. Mataku menyipit. Cowok itu kayaknya sedang menahan tawa, deh.

Sebenarnya, apa sih yang ada dalam pikirannya? Aku sibuk berpikir tentang Harris ketika bel istirahat berbunyi. Gaida menyenggol lenganku.

"Aku beliin kunyit asam dulu, ya. Kamu tunggu aja di sini."

Luka yang Kau Tinggal Senja Tadi (Complete)Where stories live. Discover now