2 : Tentang Hujan Harapan

50 7 1
                                    

Page (2)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Page (2)

Kalau kata orang, kita adalah tempat harapan dan juga mengharap. Dan Gavin akui, ia adalah orang seperti itu. Di mana ia selalu ingin berharap, namun ia jugalah tempat orang-orang berharap.

Mungkin, jika harapan itu ringan, ia tidak masalah. Hanya saja, harapan yang ditangguhkan padanya terlalu berat. Siapa yang sanggup untuk menahan beban jika ia tidak memiliki tempat berharap?

Siang ini, di bawah halte bus Gavin berdiri. Menatap langit yang sedang menangis, bergemuruh bagai amarah yang tidak akan ada yang dapat melawan. Ia ingin seperti langit, bisa menangis dan marah. Tapi di lain sisi ia tidak bisa.

Hembusan angin yang menerpa, bagaikan tepukan yang menyiksa bagi Gavin. Baru saja, ketika sang Bunda menjemput, namun bukan untuk dirinya. Untuk Bima, yang hanya sebatas anak tiri bagi Najma. Tidak. Bagi Najma ia lah anak tirinya, bukan Bima.

Melihat bus telah berhenti di depannya, Gavin lantas berdiri dan masuk ke dalam bus. Mengambil tempat yang menurut ia nyaman, Gavin lantas duduk. Menatap jalanan luar melalui tempat ia duduk.

Begitu sunyi keadaan di bus itu, membuat Gavin menutup matanya, untuk sekadar menahan gejolak sakit di dalam hati. Masih terngiang jelas saat tadi ia berjalan menemui Najma yang ada di dekat gerbang sekolah. Sebuah ucapan yang membuat Gavin paham, mengapa sosok surga tersebut tidak begitu memperhatikan buah hatinya.

"Kamu pulang sendiri. Bunda mau bawa Bima ke pertemuan bisnis. Kamu gak akan paham sama hal kayak gini. Tugas kamu satu, belajar dan raih pendidikan yang Bunda tentukan. Masa depan Bima itu yang utama."

***

Hingga malam menjumpai, hujan deras masih terus turun. Meski begitu, Gavin tetap pada posisinya. Berdiri di balkon, melihat ke atas di mana asal turunnya air yang tak ada habisnya itu. Ada alasan mengapa ia begitu menyukai memandang langit. Bagi Gavin, langit adalah tempatnya berharap. Dan di langit pula, ia menemukan kehangatan. Terutama di langit malam. Karena sang Bunda, yang memiliki arti nama bintang dalam bahasa arab. Sehingga ia merasa nyaman ketika melihat kelap kelip bintang di atas—walaupun tidak ada bintang yang terlihat saat ini.

Suara pintu kamar yang terbuka tidak menyebabkan Gavin berpaling dari tatapannya. Langit yang tertutup hujan di atas sana masih begitu menarik daripada ucapan yang keluar dari siapa pun yang masuk.

"Gav, ini makanan kamu. Jangan cuma di luar aja. Masuk, Bunda gak mau kamu sakit sampe harus bolos sekolah. Makan terus belajar. Bentar lagi ada olimpiade sains, 'kan? Kamu harus bisa dipilih sama guru dan tunjukin kemampuan kamu. Bunda keluar dulu."

Tepat ketika pintu kamarnya ditutup oleh Najma, Gavin menghela napas lelah. Sampai kapan ia harus seperti ini? Dipaksa untuk sempurna, diminta untuk dapat melakukan apa saja, diharapkan untuk bersinar. Tapi, bagaimana semua itu dapat terjadi jika ia sama sekali tidak pernah dipedulikan?

Keadaan perut yang meminta diisi membuat Gavin akhirnya masuk. Sebelum memasukan makanan di nampan yang telah Najma bawakan, ia menatap makanan tersebut dengan lamat. Nasi ditemani sayur orak-arik brokoli dan udang asam manis kesukaannya entah mengapa memiliki beban yang besar. Seolah ketika ia memakan itu nanti, beban yang ditorehkan kepadanya akan semakin besar. Ia merasa, begitu banyak harapan di dalam hidangan yang tersaji.

"Bahkan makanan aja menambah harapan ke gue. Lucu banget hidup lo, Vin," dengan perasaan berkecamuk, Gavin menyantap makanannya. Bukan dengan nikmat, melainkan dengan rasa sakit dari luka yang ditorehkan.

***

Saat Gavin mendatangi tempat itu, ia melihat dua sosok yang duduk di bangku taman rumah. Yang bertubuh lebih kecil di sana memakai earphone di telinganya. Sudah dapat ditebak, pasti tengah mendengarkan musik.

Semakin Gavin mendekat, ia sedikit tertawa kecil mendengar pembicaraan mereka. Iya, Gavin tertawa. Tawa yang hanya dapat ditimbulkan oleh satu orang hebat baginya.

"Gavin ke mana, ya, Kak? Udah lama gak denger suara dia."

"Dia lagi ke rumah kakeknya, Ga."

"Kok tumben gak pamit, Kak?"

Gavin semakin mendekat dan menutup mata sang kawan. "Cieee, yang kangen sama gue."

"Gavin?"

Gavin mengangguk. Lalu, ia menyusul duduk di tengah-tengah kakak-beradik tersebut. Tersenyum tanpa dosa, ia merangkul Raga—sang teman—yang tersumpal earphone di telinganya.

"Ck, sempit nih, Vin! Baru dateng juga."

Mendengar ocehan dari samping kirinya, ia berbalik. Menatap lelaki yang lebih tua beberapa tahun darinya. "Ngalah dong, Kak. Kak Rama pergi aja. Kan aku mau kangen-kangenan sama sahabat tercintaku ini."

"Kok ngusir? Ini rumahku, loh. Kamu juga baru dateng, main ngusir aja" walaupun ucapan Rama begitu, berbeda dengan tindakannya. Lelaki berwajah mungil itu beranjak pergi meninggalkan Raga dan Gavin. Percuma juga Rama di situ jika hanya menjadi pendengar saja.

Melihat kepergian Rama, Gavin melepas rangkulannya dan menatap Raga. "Gimana kabar lo, Ga?"

"Kayak biasanya, Vin." Ah, jawaban Raga pasti selalu seperti ini. Kata 'biasa' yang mengandung maksud begitu menyakitkan.

Gavin tersenyum, ia mengubah pandangan lurus ke depan, mengingat musibah apa yang telah menimpanya dan keluarga. "Kakek meninggal, Ga."

Raga tersentak kaget, nada bicara Gavin memang seperti biasanya. Tapi Raga tahu, Gavin tengah terpuruk saat ini.

Perlahan tangan Raga mencari keberadaan pundak Gavin. Setelah menemukannya, ia mengusap pelan pundak sang sahabat, menyalurkan semangat ke dalam diri Gavin. "Itu artinya Tuhan sayang sama kakek lo, Vin. Yang tabah, ya, kita doa in kakek lo dari bawah sini" Ucap Raga memberi kekuatan pada Gavin.

Gavin mengangguk, walau Raga tidak dapat melihat insan di sampingnya, namun Raga menyadari bahwa saat ini, Gavin tengah meneteskan air mata. Ia kembali mengusap pundak Gavin, untuk memberikan ketenangan.

"Sebuah pertemuan pasti ada perpisahan, Vin. Lo ikhlasin kakek lo. Dia bakalan ga tenang ngeliat cucu kesayangannya yang manja ini nangis" Ujar Raga dengan tawa kecilnya.

Gavin terkekeh kecil, Raga selalu bisa memberikan kekuatan padanya. Padahal, ia sendiri tahu, Raga lebih merasakan sakit daripada dirinya. Namun kenapa Raga lebih bisa kuat hingga menyemangati Gavin saat ini?

Itulah hal yang membuat Gavin menjadikan Raga sebagai tempat mencari semangat dan motivasi. Mungkin, jika tidak ada Raga, ia benar-benar sudah mengakhiri hidupnya saat ini. Tapi ia masih cukup waras serta dapat menahan diri. Karena baginya, penderitaan yang ia dapatkan sekarang tak seberapa dengan penderitaan Raga.

Raga itu buta, selalu dicaci maki oleh orang-orang yang tak punya hati. Juga, Raga ialah seorang yatim piatu yang dibenci oleh kakak keduanya. Raga, meskipun ia tersenyum, namun begitu banyak luka yang menyerangnya.

Dan Gavin sendiri, selalu merasa malu jika mengeluh dengan hidupnya, padahal ada sosok yang lebih sakit dalam menjalani hidup.

RUNTUH
-SmoothyCha

RUNTUHWhere stories live. Discover now