Shaqueen hanya menghela napas sejenak sembari menatap punggung Nara yang semakin jauh dari pandangannya. "Gue bukan anak kecil, yang bisa lo bohongin, Nar," lirih Shaqueen sembari menatap pantulan dirinya di cermin.

Menit berlalu setelah Nara pergi, Shaqueen masih berdiam diri di toilet. Gadis itu masih menatap pantulan dirinya di cermin. Shaqueen terkekeh samar. Ia berusaha mencari kurangnya di mana, sampai-sampai ia tidak bisa menggantikan posisi masa lalunya Aksa.

Kejadian tadi sewaktu jamkos masih menghantuinya, senyum Aksa dan Karina masih ia ingat dengan begitu jelas. Ada beberapa bagian hatinya yang merasa retak, entah karena melihat tawa yang tercipta di lengkung kekasihnya atau, karena kenyataannya bukan dia yang menjadi sebab utama tawa itu tercipta.

Namun, ketika Shaqueen berusaha menarik napasnya—menghalau setiap rasa sakit yang secara bertubi-tubi menghampiri. Sebuah dobrakan pintu dari luar membuatnya menoleh.

BRAK!

Shaqueen sedikit terkejut karena ada yang membuka pintu begitu kencang. Kini atensinya mulai menatap kearah dua orang wanita yang baru saja masuk ke area toilet.

Mereka menatap Shaqueen dengan tatapan yang tajam, entah kenapa dan apa sebabnya, Shaqueen tidak tahu. Mereka berjalan menghampiri, namun akhirnya Shaqueen memilih untuk tidak peduli. Shaqueen memilih untuk kembali menatap dirinya di cermin. Hingga suara wanita itu meninggi, membuatnya meremat tangan diam-diam. Sial.

"Heh jalang!" teriak salah satu wanita yang tiba-tiba datang menghampiri Shaqueen.

Shaqueen hanya menaikkan satu alisnya tak paham. "Lo bicara sama gue?" tanyanya.

Anya tersenyum kecut. "Ya, iyalah. Lo pikir gue bicara sama siapa lagi?"

"Diri sendiri, maybe?" sahut Shaqueen sembari mengelap tanganya yang basah.

Hal itu berhasil membuat amarah Anya kian memuncak. Ia kembali menatap Shaqueen jauh lebih dekat. Lalu, tangannya bergerak dan meraih rambut Shaqueen dengan kuat.

"Bangsat!" pekiknya, sembari menjabak rambut Shaqueen. Tetapi Shaqueen tampak diam saja, entah kenapa, ia malah membiarkan Anya  menjambak rambutnya dengan kuat.

"Jadi murid baru aja udah belagu!" timpal Bianca, salah satu teman Anya.

Akhirnya, Shaqueen muak juga. Ia berusaha untuk menangkis lengan Anya dari kepalanya. Gadis bernama Anya itu brengsek juga, tidak tahu kah Shaqueen itu siapa? Tetapi, sudah di bilang, ini bukan saatnya Shaqueen menunjukkan jati dirinya.

"Lepasin, sakit!" seru Shaqueen dengan nada datar.

Anya semakin tersenyum puas, ia merasa senang ketika Shaqueen berhasil bersuara dan sedikit meringgis karena ulahnya. Tetapi bagi Anya, ini belum seberapa, dengan begitu ia semakin mengencangkan jambakanya.

"Lo mau gue lepas?" tanya Anya, yang berhasil di angguki oleh Shaqueen.

Anya tertawa, melihat raut wajah Shaqueen yang kesakitan seperti ini membuat moodnya lama-lama semakin baik juga.

"Tapi, gue belum puas. Gimana dong? Lagian ya, belum juga ada satu hari lo disini, lo udah berani buat maslah sama gue!"

Shaqueen mengerutkan keningnya, ia tidak paham maksud dari orang gila ini. Perasaan, dari pagi sampai sekarang ia hanya berdiam di kelas, tidak kemana-mana. Ada pun keluar, hanya kali ini—ke toilet. Lantas, dari mana salah yang sudah ia perbuat?

JevianWhere stories live. Discover now