Permainan yang Gila

Start from the beginning
                                    

Karena kumpulan hal yang menyakitkan dan menyebalkan itu, akhirnya Vito bersumpah untuk tidak menceritakan kesusahan dan rasa sakitnya pada orang-orang di sekitar Ia terlanjur terluka dan kecewa. Tetapi, begitu Vito bertemu sosok Adit maupun Dokter Zahid ia merasa ternyata terbuka dengan orang lain perihal kesusahan dan rasa sakit itu terasa sangat melegakkan.

Selama ini, Vito hanya berani bercerita pada Ibu dan kakak perempuannya, itu pun tidak banyak hal yang Vito ceritakan. Malah jauh lebih banyak hal yang Vito sembunyikan, karena ia tak ingin membuat khawatir keluarga kecilnya itu. Vito selalu merasa bertanggung jawab untuk menjaga dan melindungi ibu juga kakak perempuannya, karena ia sosok lelaki satu-satunya di dalam keluarga.   

Vito kemudian menghentikan langkah kaki, lamunannya terhenti tiba-tiba karena melihat ada sesuatu yang aneh di belakang. Kedua mata Vito melirik ke arah kiri dengan tajam, kenapa dari tadi dua orang di belakangnya itu terus mengikutinya?

Dan lagi, ciri-ciri lelaki itu yang membuat Vito semakin khawatir. Dua pria itu mengenakkan topi dan masker hitam. Vito menelan ludahnya dalam. Sekali lagi ia melirik ke arah kiri, dua pria itu kini malah semakin mempercepat langkah kaki dan berusaha mengimbangi langkahnya dengan Vito.

Sadar ada yang tak beres, Vito langsung berlari kencang. Benar saja, dua lelaki itu ikut berlari mengejar Vito di belakang. Vito langsung berhenti begitu di pertigaan jalan, ia melirik ke kanan dan ke kiri. Setelah merasa yakin, Vito langsung berlari menuju lapangan sepak bola yang ada di sekitar rumahnya. Lalu berlari mengelilingi lapangan itu dengan kencang. Gilanya, dua lelaki itu masih terus mengejarnya di belakang.

Vito terus berlari hingga tiga putaran penuh, sambil sesekali melihat ke belakang. Dua pria itu terlihat mulai kewalahan dan berhenti terengah-engah sambil menarik napas berkali-kali. Vito tersenyum puas, ia lalu segera berlari menuju jalan besar yang banyak dilewati kendaraan, menyebrang, kemudian segera masuk ke dalam salah satu minimarket di pinggir jalan.

Vito berjalan dengan tergopoh-gopoh dan lalu bersembunyi di pojok minimarket sambil meraih ponselnya.

"Kak, tolongin gue sekarang."  

🤝🤝🤝🤝

"Lebih baik kita ngobrol di sini aja, ya," ucap Rangga sambil mempersilakan Vito dan Adit untuk duduk. Mereka bertiga memilih salah satu caffe di daerah Kota Bogor. Karena mendengar cerita Vito, Rangga merasa jauh lebih aman jika mereka bertiga bertemu di tempat yang jauh dari rumah Vito.

"Satu minggu ke depan, polisi akan jaga-jaga di sekitaran rumahmu. Tapi, mereka gak bisa stay di tempat. Banyak di antaranya intel yang menyamar. Karena sebenarnya kasus ini rumit, orang-orang yang saya suruh untuk jaga rumah kamu itu bukan orang-orang dari kantor kepolisian pusat. Saya harap kamu bisa jaga rahasia ini," jelas Rangga sambil melepaskan jaket kulitnya dan meletakkan di pinggir kursi.

"Gak apa, kak. Makasih banget," jawab Vito lalu meraih lemon tea di mejanya dan meminumnya perlahan.

Vito merasa gugup, karena ia masih tidak percaya kalau kejadian menegangkan itu barusan ia alami. Diikuti oleh penguntit yang Vito tak tahu siapa mereka sampai ke rumah. Benar-benar pengalaman yang mengerikan bagi Vito. Sejujurnya saat ini Vito merasa takut, tapi, ia terus berusaha menenangkan dirinya sendiri kalau semuanya pasti akan kembali membaik.

Lain halnya dengan Vito yang terlihat berusaha menenangkan dirinya sendiri. Adit hanya terus terdiam sambil melihat ke arah jendela caffe yang besar.

"Ada yang kamu pikirkan?" tanya Rangga, ia melihat ke arah Adit yang terlihat sedang melamun.

Mendengar pertanyaan Rangga, Adit menoleh dengan senyum tipis.

"Ada apa, kak?" Vito ikut bertanya dengan nada yang sedikit khawatir.

"Kakak sudah tahu kasus dua remaja yang membunuh anggota keluarganya itu?" tanya Adit dengan tatapan mata yang serius.

"Udah, kebetulan saya juga dapat tugas untuk bantu usut kasus ini," jawab Rangga sembari mengeluarkan catatan hitam miliknya.

"Gak, saya ngerasa ada yang aneh aja. Saya belakangan juga ikuti kasus ini. Karena saya dan salah satu dosen saya di kampus diminta untuk bantu mencari titik dari kasus ini dari beberapa detektif swasta. Sebenarnya tadinya kami tidak terlibat, tapi, karena salah satu tersangka ternyata pernah menjadi pasien di rumah psikologi dosen saya. Hampir tiap hari para detektif itu datang dan meminta keterangan maupun informasi."

"Okay, lalu anehnya dimana?"

Adit menghela napas panjang, "menurut informasi terbaru, kedua tersangka tersebut langsung dijatuhi hukuman tanpa keterangan lebih lanjut. Anehnya tidak ada pemeriksaan kesehatan jiwa dan mental tersangka. Padahal jelas-jelas mental mereka sedang terganggu."

Rangga langsung terdiam begitu mendengar penjelasan dari Adit, begitu pun Vito yang tak kalah seriusnya memperhatikan.

"Saya hanya merasa, banyak hal yang ditutup-tutupi dari kasus ini. Selain itu terlalu banyak hal yang dipaksakan," tambah Adit lagi.

Adit berdeham sejenak, kemudian ia melanjutkan. Katanya, "kakak pasti tahu, orang dengan keadaan mental dan jiwa yang sedang tidak stabil lebih mudah untuk dimanipulasi. Jangankan mereka, bahkan, orang-orang pintar pun memiliki peluang yang jauh lebih besar untuk dimanipulasi karena pikiran orang-orang pintar dipenuhi dengan logika. Dan logika ini sifatnya mudah untuk dimanipulasi. Saya mendapat keterangan yang benar-benar janggal dari salah satu detektif yang datang berkunjung waktu itu, ia mengatakan bahwa jawaban-jawaban tersangka ketika diinterogasi seperti sudah disiapkan sedari awal.  Jawaban template. Kakak pasti tahu, kan? Apa, ya? Skenario begitu?"

Rangga terdiam, kini sorotan matanya semakin tajam dan dalam. Sebentar ia menatap langit gelap dari jendela caffe lalu melihat ke arah Adit dengan serius.

"Baik, saya mengerti. Saya ingin menyampaikan sesuatu kepada kalian berdua. Mungkin ini terdengar sedikit mengejutkan. Tapi," Rangga menghentikan perkataannya sebentar kemudian ia melihat ke dalam kedua bola mata Adit juga Vito.

"Mulai sekarang, kita bertiga. Harus bisa menjaga diri dengan baik. Kalau bisa, jangan libatkan lagi orang lain dalam permasalahan ini. Dan, saya benar-benar minta maaf karena harus membawa kalian berdua ke dalam putaran permainan yang gila."

Adit dan Vito langsung saling memandang satu sama lain, tatapan kedua mata mereka terlihat heran dan bingung. Apa maksud perkataan Rangga itu? Mereka belum sepenuhnya mengerti.

"Maksud saya adalah, kita bertiga sudah terlanjur masuk dalam permainan gila dan penuh resiko ini. Kalau kita ingin keluar dari sini, kita harus menyelesaikan permainan ini sampai selesai. Baru setelah itu kita bisa benar-benar keluar. Orang yang membuat permainan ini jauh lebih gila dan pintar dari yang kita bayangkan. Kalian paham, kan, maksud saya apa?"

"Jadi?" Adit menatap Rangga dengan sorotan mata yang cemas.

Rangga mengangguk, ia lalu mengeluarkan dua buah tas pocket berukuran sedang dan memberikannya kepada Adit juga Vito. Rangga sekali lagi menganggukkan kepalanya seperti meyakinkan, Adit dan Vito langsung meraih tas pocket itu kemudian memasukkannya ke dalam ransel mereka.

"Mulai sekarang, jangan pernah lepas komunikasi. Kita bertiga harus saling mengabari," ujar Rangga dengan sorotan mata serius yang menyelidik. 











🤝 Bersambung 🤝

PSIKE | TELAH TERBITWhere stories live. Discover now