Kamu Tidak Sendiri

154 28 16
                                    

Vito melihat ke sekeliling rumahnya yang cukup berantakan karena banyak tamu berdatangan setelah mengikuti shalat jenazah dan proses penguburan. Kini yang tersisa hanyalah Vito dan keluarga kecilnya.

Ibu sedang sibuk merapikan baju-baju almarhum Joni di kamar, kata ibu, ibu berniat menyumbangkan baju itu untuk anak-anak di panti asuhan. Ada beberapa baju yang diberikan untuk Vito. Ibu sudah memisahkannya terlebih dahulu. Lain halnya dengan kak Nabila, ia hanya duduk terdiam di balkon luar rumah sembari melihat kendaraan yang lewat di depan rumah.

"Assalamualaikum," terdengar ucapan salam tepat dari balik gerbang rumah Vito yang sederhana. Nabila yang melihat Bobi dan kawan-kawan Vito lainnya itu segera bangkit dari duduk dan menyambut kedatangan mereka.

"Wa'alaikumusallam. Silakan masuk," Bobi dan teman-teman lainnya menundukkan kepala sopan sembari tersenyum. Bobi dan lainnya langsung masuk ke dalam rumah dan mendapati Vito sedang terduduk di atas karpet di ruang tamu rumahnya dengan wajah yang lesu. Kedua matanya terlihat bengkak, seperti kedua mata kak Nabila barusan.

"Gue dan teman-teman turut berduka cita, ya. Gue harap lu sabar dan tegar menghadapi ini semua. Begitupun keluarga lu, semoga diberikan kesabaran. Dan semoga segala amal ibadah almarhum diterima di sisi Allah." Bobi duduk di samping Vito sambil mengusap pundak Vito.

Rama, Dio dan Andre yang melihat kondisi Vito yang begitu menyedihkan hanya mampu terdiam dan menundukkan kepala. Mereka bisa merasakan sedikitnya rasa sakit yang Vito rasakan, apalagi dengar-dengar kakaknya Vito meninggal karena dibunuh oleh seseorang. Vito dan keluarganya pasti merasa terpukul.

"Kenapa hidup gue seberantakan ini? Kenapa gak ada yang benar di dalam kehidupan gue?" Vito tiba-tiba bertanya hal yang sulit dijawab oleh Bobi dan teman-temannya.

Vito lalu menutup wajahnya yang pucat dengan kedua telapak tangan. Punggungnya terlihat gemetar, menandakkan bahwa ia sedang menangis.

"Kenapa lu bisa berpikiran seperti itu?" Tanya Rama hati-hati, ia lalu duduk tepat di hadapan Vito sambil menyentuh lutut Vito yang ikut gemetar.

"Ayah gue meninggal karena dibunuh kakak gue. Sekarang kakak gue meninggal karena dibunuh juga. Kenapa nasib mereka setragis itu? Apa salah ayah dan kakak gue? Kenapa Allah begini ke keluarga gue?" Vito menyeka air mata yang terus menetes dari kedua matanya yang bengkak dan sembab.

Dio dan Andre yang mendengar pertanyaan Vito, hanya bisa saling menatap satu sama lain, lalu menghela napas berat.

"Saat ini gue pinta lu jangan dulu banyak pikiran. Tenangin diri lu, ekspresikan kesedihan lu. Tapi, jangan sampai lu tenggelam di dalam sana. Sekarang bukan saatnya lu banyak berpikir yang berat-berat. Kondisi lu udah terlalu letih, lu harusnya banyak istirahat juga. Gue paham, lu dan keluarga lu pasti terpukul banget. Tapi, tolong, jangan memperburuk keadaan lu dengan banyak memikirkan hal lain yang seharusnya gak perlu lu pikirin," Bobi berusaha menenangkan Vito sembari terus mengusap-usap pundak Vito.

"Bobi benar, lu baiknya sekarang banyak istirahat. Jangan pikirin apa-apa dulu," ujar Dio, lalu duduk mendekati Vito.

"Puas-puasin nangis juga, gak usah ngerasa malu karena lu lelaki, terus lu jadi berpikir, ah, gak boleh nangis. Kata siapa? Lelaki juga boleh nangis, kok. Memangnya air mata cuma punya perempuan aja," celetuk Andre yang duduk tepat di samping Dio.

Mendengar banyak kata-kata penghiburan yang tulus dari teman-temannya Vito perlahan-lahan mulai merasa tenang. Isak tangis Vito terdengar semakin mereda, ia lalu mengusap wajahnya dengan tangan dan menatap temannya satu-persatu sembari berusaha tersenyum. Bobi yang melihat senyuman itu langsung mengacak-acak rambut Vito dan tertawa. Rama, Dio dan Andre pun ikut tertawa bersama.

PSIKE | TELAH TERBITNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ