⚠️ [25] HI PAPA

Start from the beginning
                                    

Meyra tertegun mendengar Erlang bisa sedewasa itu, karena yang ia kenal Erlang orang yang periang dan suka bercanda, namun sekalinya serius, Erlang seperti orang yang berbeda.

"Iya. Gue mau ke perpus, kalo udah abis simpen aja kotaknya di meja gue,"

"Oke. Makasih, Mey. Masakan lo enak bener, rugi si Bara enggak makan," ucap Erlang dengan nada bercanda seperti biasa.

Meyra hanya menanggapinya dengan anggukan saja, setelah itu keluar kelas menuju ke perpustakaan, karena tahu pelajaran selanjutnya jamkos, Meyra memilih untuk menghabiskan waktu di perpustakaan, tempat nyaman untuk menyendiri, di sana banyak buku yang bisa ia baca untuk mengisi waktu luangnya.

Seperti dugaannya, perpustakaan sedang sepi. Meyra pergi ke rak buku novel remaja, memilih salah satu untuk ia baca. Tidak ada penjaga perpus di sana, mungkin Bu Isma yang biasa berjaga sedang beristirahat.

Meyra duduk di salah satu kursi yang biasa di pakai untuk mengambil buku di rak paling tinggi. Lembar demi lembar ia baca, Meyra hanyut dalam cerita tersebut. Gaya bahasa yang mudah dipahami membuat Meyra nyaman dan ingin membaca terus menerus. Sampai pada akhirnya, acara Meyra membaca terhenti mendengar langkah kaki yang melewati perpustakaan.

"Bar, lo pacaran sama Meyra cuman kasihan kan?"

"Awalnya,"

"Berarti masih ada kesempatan dong buat gue?"

"...."

Tanpa Meyra sadari, air matanya menetes mengenai punggung tangannya yang tengah mencengkeram buku dengan kuat. Sejenak, Meyra lupa cara untuk bernapas, dadanya terasa nyeri seperti tercabik-cabik.

Meyra kini menunduk, menatap buku novel yang basah karena air matanya.  Ia merasa bodoh sekarang, seharusnya ia sadari dari awal, siapa juga yang mau dengan dirinya yang tak punya apa-apa?

Dengan tangan yang gemetar, Meyra menghapus air matanya, ia terkekeh pedih saat jawaban Bara tadi terngiang di kepalanya. "Terpaksa ya? Ternyata usaha gue buat cinta sama lo sia-sia ...."

•🏀•

Mata Meyra sembab karena terlalu banyak menangis, ia keluar dari perpustakaan, bel pulang sudah berbunyi dan Meyra menunggu semua orang pergi, agar ia bisa ke kelasnya untuk mengambil tas. Tak ingin semua orang tahu jika dirinya habis menangis. Kelas Meyra sudah kosong, hanya ada tasnya di sana, Meyra tersenyum miris saat Bara tak membawakan tasnya dan pergi begitu saja.

Dengan perasaan campur aduk, Meyra mengambil tas dan segera pulang. Tak ingin berada di kelas berlama-lama, namun saat ia melewati parkiran, terlihat Bara yang tengah mengobrol dengan Rea. Dadanya kembali berdenyut nyeri, Meyra mencoba mengabaikan mereka dan berjalan santai keluar sekolah, mati-matian ia menahan air matanya agar tak jatuh. Ternyata, rasanya lebih sakit saat ia melihat kedekatan mereka dengan mata kepalanya sendiri.

Setiap langkah yang Meyra lewati membawa Meyra ke suatu tempat, ia melewati sekolah Mahesa yang sudah sepi. Sepertinya Mahesa sudah pulang, Meyra mempercepat langkahnya untuk bertemu dengan putra satu-satunya.

Saat Meyra melewati lapangan basket yang tak jauh dari TK Mahesa, tak sengaja ia mendengar teriakan anak kecil yang memanggilnya. Tak usah ditebak lagi, tentu saja itu Mahesa.

"Mama!"

Panggilannya Mahesa membuat pertahanan Meyra runtuh. Mahesa berlari ke arahnya, dan Meyra menyambut Mahesa dengan pelukan. Tanpa bisa ditahan, Meyra menangis kembali.

Mahesa terdiam dengan dada yang ikut terasa sakit saat Meyra terisak dan menangis sambil memeluknya. Saat Meyra sedang dalam masalah, atau rindu kepada nenek dan kakeknya, mamanya memang sering menangis dan memeluknya seperti ini. Dan yang Mahesa bisa lakukan hanyalah diam, menunggu tangis Meyra reda. Namun dalam diri Mahesa terdapat sedikit dorongan untuk mengelus kepala mamanya itu.

HI PAPA Where stories live. Discover now