Trauma itu Kembali

1.8K 237 17
                                    

Jam di dinding menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Entah kenapa, Malaka kesulitan memejamkan mata padahal dari tadi cukup banyak menguap. Ia berbaring dengan posisi miring dengan hati-hati takut mengganggu tidur suami dan anaknya. Malaka mengulurkan sebelah tangan, menyentuh bahu Dimar sesekali menepuknya pelan. 

Malaka mengamati wajah Dimar dengan seksama, menghela napas sekali lagi lalu mengembuskannya. Dalam hati Malaka bertanya, apa Dimar lupa atau terlalu kelelahan sampai tidur duluan?

Tujuh tahun mereka bersama, dari mulai Malaka mengandung Yayya, melahirkan, hingga menikah lalu tetap bersama sampai sekarang, bohong kalau Malaka tidak terbiasa dengan kehadiran lelaki di depannya ini. Segala macam perlakuan Dimar, lembutnya lelaki itu dalam memperlakukannya, perhatiannya, cara bicaranya yang lembut, serta kebiasaan Dimar kepadanya—tanpa sadar membuat Malaka terbiasa dengan semua itu.

Termasuk mencium kening Malaka sebelum mereka tidur. Tapi, malam ini tidak. Ketika Malaka selesai mandi dan mengganti baju tidurnya, Dimar sudah jatuh tertidur sembari memeluk sang putri.

Malaka tahu, Dimar pasti kelelahan. Walau lelaki itu kebanyakan bekerja di rumah, Malaka paham sebanyak apa pekerjaan yang dilakukan suaminya. Paling sering, Dimar ketiduran di ruang kerjanya.

Tangan kanan Malaka berpindah menyentuh pipi Dimar, menatap lelaki itu cukup lama sebelum akhirnya ia memberanikan diri menciuk pipi Dimar untuk pertama kalinya. Iya, pertama kali. Mungkin, Malaka terlalu nekat melakukannya. Entah, kalau Dimar dalam keadaan sadar, bisa jadi Dimar merasa risi, tidak suka, karena dicium sembarangan oleh dirinya.

Malaka juga mencium pipi Yayya, lantas menyibak selimut sebelum ia menurunkan kedua kaki ke lantai kamar tanpa alas kaki. Kepalanya selalu pusing jika tidur telat, ia butuh sesuatu agar bisa membuatnya tenang.

Sepeninggal Malaka, Dimar membuka matanya dan mengintip ke arah pintu. Ia tidak sungguhan tidur sejak tadi. Dimar sibuk menenangkan pikiran dan hatinya. Karena kejadian tadi sewaktu menjemput Malaka, entah kenapa Dimar menjadi sangat kesal sekali. Dimar mengaku salah, seharusnya ia melampiaskan kekesalannya bukan kepada Malaka. Tapi lelaki tadi. Berani sekali lelaki itu menyentuh tangan istrinya!

***

Dimar membungkukkan punggung, mengamati wajah Malaka. Istrinya ketiduran dengan posisi duduk di kursi makan, sementara kompor dibiarkan menyala.

Pertama yang dilakukan Dimar adalah, mematikan kompor lebih dulu sebelum kembali ke kursi. Dimar menarik kursi di depan, ikut duduk sembari mengamati wajah damai Malaka. Dimar tersenyum tipis, menyentuh pipi Malaka yang halus.

"Zaman sekarang tuh, Mar, banyak orang nekat. Orang gila. Udah tahu istri orang, tetap aja dikejar. Kamu nggak mau lihat istri kamu digodain, apa lagi sampai dikejar lelaki lain! Apa nggak panas hati kamu kalau ngalamin hal gitu?! Temenan nggak apa-apa, Mar. Tapi harus waspada. Kalau dia, atau teman kamu yang lain sebenarnya ada niat kurang baik sama keluarga kalian, gimana? Kamu nggak nyesel?" 

Dimar menarik kepalanya menjauh dari meja. Ia mengusap wajah, mengingatkan dirinya. Kata-kata ibunya terus terngiang di telinga Dimar. Membuat Dimar memiliki rasa ketakutan baru.

Dimar beranjak dari kursi, membungkukkan punggung kemudian menyelipkan sebelah tangannya ke bawah lutut Malaka. Dimar memutuskan memindahkan Malaka ke kamar mereka. Istrinya sudah terlalu lama tidur dengan posisi seperti itu. Ia khawatir Malaka bangun dengan badan yang sakit.

Ia merasakan tangan Malaka bergerak menyentuh punggungnya. Ketika ia menundukkan kepala, bersamaan dengan Malaka membuka kedua matanya. Mereka saling menatap cukup lama, hingga akhirnya Malaka mengeluarkan suara.

"Kak..." Malaka menatap Dimar, takut. "Turunin, Kak. Aku tadi hidupin kompor lagi bikin air panas."

"Udah aku matiin kompornya. Kamu mau bikin apa memang?" tanya Dimar.

You Are My Home [Sidequel Ayo, Kita Cerai!] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang