9. Bertemu Tokoh Lain

Start from the beginning
                                    

"Kapan?" tanya mereka hampir bersamaan.

"Beberapa hari yang lalu."

"Si Aya maafin lo?" tanya Arthur, yang langsung mendapatkan anggukkan kepala dari Alaskar.

"Dia masih suka buli si Kiran gak, sih?"

"Kayaknya udah engga." Zeyn menjawab pertanyaan kembarannya.

"Atau jangan-jangan, ini salah satu rencana si Aya buat ngambil perhatian kita lagi. Bisa aja, kan?"

Mereka semua diam, tidak ada yang menjawab ucapan Garvan. Mereka teringat bagaimana hubungan Ravloska dengan Araya, namun semuanya kini telah berubah.

"Andai si Aya gak ngelakuin kesalahan besar waktu itu, pasti semuanya masih sama," kata Arthur membuat mereka semakin terdiam."

***

Jika di belahan bumi lain sedang membicarakan seorang Araya Loovany. Sedangkan yang tengah mereka bicarakan sedang asik berjalan-jalan di taman sendirian.

Araya melihat pemandangan di sekelilingnya. Banyak sekali orang-orang yang sedang berada di taman ini, dari mulai anak-anak sampai orang dewasa.

Dia menarik napas panjang lalu dihembuskannya secara perlahan.

"Gue rindu rumah."

Di sini Araya memang mendapatkan apa yang tidak ia dapatkan di dunianya. Jika dia mau sesuatu, maka dengan mudah dia bisa mendapatkannya. Akan tetapi, Araya juga merindukan kehidupannya dulu. Dia rindu orang tuanya, adiknya, Mitta, dan kehidupan monotonnya.

"Gue pikir yang namanya transmigrasi tuh cuma mitos, ternyata malah terjadi sama gue sekarang.

"Bisa gak, ya. Gue balik ke dunia asli gue?"

Araya menendang-nendang kakinya dengan kesal.

"Emak ... Araya mau pulang," rengeknya entah kepada siapa.

Dia tidak peduli jika ada seseorang yang melihat kelakuannya barusan. Dia hanya sedang kesal kepada dirinya sendiri, kenapa bisa-bisanya masuk ke dunia fiksi cuma gara-gara jatuh dari pohon mangga.

Araya memutuskan untuk duduk di salah satu kursi yang ada di taman. Dia memandang iri satu keluarga yang terlihat sangat bahagia sedang memakan sate bareng-bareng.

"Gak boleh iri! Gue juga punya keluarga kaya raya tujuh turunan," ucapnya menyemangati dirinya sendiri.

"Tapi mereka sibuk sama dunianya sendiri. Gak kaya orang tua gue di dunia nyata."

Bagaimanapun juga, Araya berada di tempat yang asing. Ini jelas-jelas bukan dunianya.

Dia mencoba memejamkan kedua matanya. Menetralkan semua rasa berkecamuk di dalam hatinya.

Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang dingin mengenai pipi sebelah kirinya. Saat ia membuka mata, betapa terkejutnya dia melihat seorang cowok yang bisa dibilang sangat ganteng duduk di sebelahnya.

Kedua mata Araya sampai tidak berkedip melihat laki-laki itu, membuat orang yang ditatapnya terkekeh pelan.

"Jangan lupa kedip."

Araya tersadar, dia pun segera berkedip beberapa kali. Laki-laki itu hanya menggelengkan kepalanya melihat apa yang dilakukan oleh Araya.

"Lo ngapain di sini sendirian? Mana masih pake baju sekolah."

"Lo kenal gue?"

Bukannya menjawab, Araya malah balik bertanya.

"Yakali gue gak kenal sama lo."

"Lo siapanya gue? Fans? Mantan? Atau ... musuh?" tanya Araya beruntun.

Laki-laki tersebut malah tertawa pelan.

"Lo lupa siapa gue?"

Araya terlihat berpikir sesaat. "Ya, anggap saja begitu."

"Wajar sih, kalo misalkan lo lupa siapa gue. Kita aja terakhir ketemu dua bulan yang lalu."

Araya bingung harus meresponnya bagaimana. Jika ia mengeluarkan suaranya, takut salah bicara.

Dia terlihat mengulurkan tangan kanannya, yang Araya sambut dengan senang hati. Kapan lagi yakan, salaman sama cogan fiksi.

"Gue Nathaniel Magenta."

Seketika tubuh Araya menegang saat mendengar nama tersebut.

"Nathaniel Magenta? Sang antagonis pria utama?"

-batas suci-

TRANSMIGRASI ARAYA [SEGERA TERBIT] Where stories live. Discover now