28_night of confession

Start from the beginning
                                    

Lega karena untuk pertama kali setelah berhari-hari lamanya, mereka berbicara. Lega karena Isy berhasil mengungkapkan bahwa mereka yang berjauhan sama sekali bukan hal yang menyenangkan untuk dilewati. Lega karena Jaza masih menerima gadis itu, merengkuhnya saat Isy benar-benar membutuhkan.

Sebentar. Sekelebat bayangan melintasi kepalanya saat pemikiran gadis itu sampai di kalimat terakhir. Jaza merengkuhnya. Jaza memeluknya.

Gila. Isy segera memejamkan mata kala mengingat bagaimana gadis itu berontak, lalu balas memeluk Jaza dengan lebih erat. Ah, sekarang dia menemukan satu kata lagi untuk mendeskripsikan rasa yang teramat bervariasi. Malu. Benar, Isy sangat malu.

Hingga tanpa sadar, Isy berdiri dan mencipta suara berisik dari kursi yang terdorong ke belakang. Di depannya, Jaza terlihat secara otomatis mendongak, membuat mata mereka bertatapan.

"Isy, kenapa?"

Kalimat tanya itulah yang menyadarkan sang gadis. Kini, salah tingkah menyerangnya, membuat gadis itu mengalihkan mata dan membawa organ itu berlari ke sana kemari hingga menangkap gelas yang masih konsisten berada di atas meja.

"Oh," katanya, lalu meraih benda yang sedari tadi akrab dengannya itu. Setelahnya, matanya diarahkan kembali kepada Jaza. "Ini, mau naruh ke dapur, terus pulang." Jeda, Jaza masih memperhatikannya dan kali ini dengan dahi mengernyit. Mungkin, lelaki itu menyadari adanya hal aneh dalam tingkah Isy. Sedang Isy sudah kehilangan ide lagi. Dia memutuskan untuk berbalik dan meninggalkan Jaza saja.

Namun, baru saja badannya menghadap arah yang berlawanan, dia merasakan cekalan di pergelangan, membuat gerak yang semula diniatkan menjadi urung total. Sedetik, dua detik, Isy masih menunggu. Akan tetapi, tangan yang melingkar di pergelangannya itu tidak mau berpindah. Alhasil, Isy mengalah dan kembali membawa badannya menghadap Jaza. Sementara rasa malu atas ingatan sendiri, masih bersarang di dalamnya.

Kali ini, didapatinya Jaza yang juga sudah berdiri. Matanya menyorot lain, tidak seperti dua kejadian tadi. Kini, Isy kembali menemui Jaza dengan keteduhan yang diberikannya. Bibir lelaki itu tertarik tipis, sebelum berkata, "Boleh ngobrol dulu?"

Isy menimang, tidak langsung memberikan jawaban. Rasa malu yang semula dengan kuat bersarang, kini memudar dengan cepat kemudian raib dari peradaban. Yang mendominasinya justru resah, takut. Takut jika apa yang akan dibicarakan Jaza, bertolak belakang dengan perkataannya di tempat parkir tadi.

Kenapa aku menjadi setakut ini jika dia betulan pergi?

Isy tidak memahami dirinya sendiri, dan yang bisa dia lakukan saat ini hanya menurut. Tubuhnya yang sudah sempurna menghadap Jaza, membuat lelaki itu melepaskan cekalannya. Perlahan, mereka kembali mendudukkan diri di dua kursi yang menjadi anomali, sebab siap diduduki tidak seperti kursi lain yang sudah dinaikkan ke atas meja.

Jaza diam, padahal dia yang mengajak berbicara duluan. Isy mengimitasi, sebab jika yang akan dikatakan Jaza merupakan sesuatu yang tidak ingin ia dengar, Isy ingin mengulur waktu sebanyak-banyaknya. Jika sebelumnya dia berkata, siapa yang pergi biarlah pergi, begitupun dengan siapa yang memilih tinggal, kali ini pemikirannya sudah berbeda. Resah yang dengan cepat menyelimuti, menjadi isyarat bahwa dia tidak ingin Jaza pergi.

Lama sekali, tetapi sepatah pun kata belum juga terucap. Isy menyadaro hal itu dan membiarkannya saja, memilih terus menautkan jemari di atas meja. Dia tidak mau memulai.

Protect At All Costs (END)Where stories live. Discover now