BAB VII

107 6 2
                                    

"KALAU BISA, AKU AKAN TERSENYUM KARENA MEMANG BAIK-BAIK SAJA BUKAN UNTUK MENUTUPI LUKA."

***

Suasana di area kampus sudah sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang masih berkeliaran di sekitar kampus guna menyelesaikan tugas atau ada pertemuan kegiatan mahasiswa. Barra memilih untuk menghabiskan sorenya di ruang seni.

Lelaki itu tersenyum memandang lukisan buatannya yang setengah jadi. Dengan sepenuh hati dan teliti, Barra menyelesaikan yang ukuran lumayan besar itu. Gambar wajah Lana terpampang jelas disana. Barra berhasil menuangkannya dalam sebuah karya seni yang cantik. Walaupun tentu saja Lana jauh lebih cantik dari lukisannya.

"Arghhh!" Barra tiba-tiba menggeram  sambil mencengkram kuat kepalanya hingga kuas di tangannya jatuh begitu saja. Pandangan Barra makin berputar hingga Barra tak sanggup melihat dengan jelas.

Telinganya berdenging kencang membuat Barra seketika tak dapat mendengar suara dengan normal. Remaja laki-laki itu berusaha bernafas dengan normal namun gagal. Dadanya sesak. Barra susah meraup oksigen di sekitarnya.

Barra menggigit kuat bibirnya yang memucat berharap rasa sakitnya bisa segera hilang. Namun tak berhasil, justru kepalanya makin terasa berat seperti di hantam benda keras. Hidung Barra juga mengeluarkan darah namun lelaki itu sudah tak sadar akan hal itu.

Tubuh Barra lemas. Lelaki itu tak kuat lagi menopang tubuhnya sendiri. Barra terjatuh begitu saja membuat kanvas di hadapannya ikut jatuh.

Brakk!

Barra tak ingat jelas setelahnya. Barra hanya mendengar suara samar Lana yang panik sambil meneriakkan namanya. Setelah itu, Barra tak dapat mengontrol lagi gerak tubuhnya, hanya dengungan yang bisa Barra dengar bersamaan dengan pandangan kaburnya menangkap Lana yang menangis ketakutan.

***

"Lana balik dulu, kak!" pamit Lana kepada kakak tingkatnya setelah keduanya mendiskusikan tentang kegiatan jurusan. Lana berniat langsung pulang setelah semuanya selesai karena Lana ingin segera merebahkan badannya.

Namun, entah mengapa hati Lana mengatakan bahwa Ia ingin lewat di depan ruang seni. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju ruang seni. Memang harus berjalan agak jauh dari jalan yang biasa Lana lewati, tapi entah mengapa Lana sangat ingin.

Bicara soal ruang seni, Lana pasti akan selalu mengingat sosok Barra. Cowok yang akhir-akhir ini menyapukan kuas warna di kehidupan Lana itu memang identik dengan seni.

Di depan ruang seni, Lana sempat mengernyit heran ketika melihat sosok laki-laki tampak memegangi kepalanya sambil menahan sakit dari jendela. Lana memilih mendekat dan langsung melihat siapa sosok itu.

"Barra!" pekik Lana panik. Gadis itu segera berlari ke pintu ruang seni dan berusaha membukanya.

Brakkk!

Tubuh Barra limbung dan mengejang hebat tepat ketika Lana berhasil memasuki ruang seni. Lana langsung berlari menghampiri Barra.

"Barra!" panggil Lana dengan suara bergetar. Lana langsung menangis saat itu juga melihat tubuh Barra yang bergerak tak terkontrol. Mata Barra terbelalak dan hanya menyisakan bagian putihnya saja. Hidung Barra penuh dengan darah yang terus saja keluar.

Lana dengan cepat membuka kancing kemeja Barra agar Barra bisa mendapatkan pasokan oksigen. Gadis itu dengan sigap menyingkirkan benda-benda di sekitar Barra kemudian meletakkan kepala Barra ke atas pahanya.

FABULA NOSTRA (✔) Where stories live. Discover now