PROSA LAMA

10 2 0
                                    

Perasaan itu tumbuh begitu saja, tanpa permisi dan menetap tanpa di duga. Awalnya Mala kira, jatuh cinta itu seperti burung yang terbang bebas, terbang kesana kemari, lalu kembali ke rumah yang ia miliki.

Tapi, bagaimana jika burung itu kehilangan rumahnya? Mencari rumah yang baru pasti tidak akan mudah, perlu waktu.

Dan Mala tahu itu.

"Kamu nggak tidur malam tadi, Dek?"

"Insom, Bun." Pura-pura. Mala tidak mungkin bilang jika kemarin ia baru saja mengakhiri hubungan-Nya dengan Jakarta, hubungan yang berjalan hampir setengah tahun dan sudah sangat di setujui oleh Bundanya.

"Jangan di biasain, ya. Bunda nggak mau kamu sakit, ingat."

"Iya." Mala menunduk dalam, menggigit sedikit demi sedikit roti miliknya. Padahal di meja Bunda juga menyiapkan nasi serta lauk untuk sarapan pagi, tapi karena tidak terlalu suka nasi, roti jadi makanan yang tidak pernah absen ia makan setiap hari.

🌵🌵🌵

Jakarta Prahadi, pertama kali Mala mengenalnya, setahun yang lalu setelah ke pindahan lelaki itu ke sekolah ini. Jakarta yang pintar selalu jadi bintang kelas, nilainya selalu diatas rata-rata, siswa emas. Begitu orang-orang mengenalnya, meski jarang berintraksi dan lebih banyak memasok hidupnya dengan membaca, lelaki itu tetap memiliki banyak teman, meski yang benar-benar ia percaya hanya hitungan jari, Mala tahu itu dari Jakarta sendiri.

Dulu, Mala tidak pernah berpikir untuk berteman baik dengan Jakarta. Dari kepribadian, Mala tahu, Jakarta tidak akan pernah cocok berteman dengan-Nya yang lebih suka bicara, tidak akan. Sampai takdir suka sekali bermain peran, hari dimana Jakarta menawarinya pulang menjadi awal dari kisah mereka berdua.

Dari sana Mala tahu jika Jakarta bisa jadi teman bicara, mereka bisa membahas apa saja kalau berdua, dan kegiatan itu terjadi sampai seterusnya, setiap hari, mengitari jalan yang sama hanya untuk memperlambat waktu sampai dirumah Mala.

Dalam hati Jakarta bertanya; apa Mala mendengar suara detak jantungnya?

Sebaliknya juga sama, tapi Mala tidak pernah menganggap perasaan yang ia rasakan itu sebagai rasa suka, Mala tidak pernah berjalan terlalu jauh sampai berani ada di fase itu, ia takut kecewa.

Setiap hari, Jakarta selalu memberikan perhatian-Nya. Sesekali ia mengajak Mala nonton film bersama, meski mereka lebih banyak membahas hal-hal lain ketimbang fokus pada filmnya, itu kesenangan dan hanya mereka berdua yang tahu rasanya.

Bahkan saat hujan, halte tempat mereka berteduh selalu jadi saksi bagaimana Jakarta menjawab semua pertanyaan random yang Mala berikan, lelaki itu selalu terlihat sabar meski pertanyaan yang di lontarkan terdengar kekanak-kanakan.

"Ar, kalau hujan bisa bicara, kira-kira dia bakal bilang sakit nggak, ya? Soalnya kan dia jatuh, mana dari ketinggian yang nggak terkira lagi, pasti sakit."

"Jatuh itu definisi dari kebebasan, Mala. Hujan bisa aja senang sama kebiasaanya, dia bahagia sama kebebasan yang dia punya."

"Jadi nggak selamanya yang jatuh itu sakit, ya?"

Itu jadi pertanyaan terakhir Mala, anggukan Jakarta jadi penutup sore mereka, sebelum Jakarta memberikan jaketnya pada Mala. Pada senja sore hari itu, Mala menyandarkan kepalanya pada bahu lebar milik Jakarta. Gerimis masih terasa, meski hadirnya begitu samar oleh netra.

Hari itu, Jakarta memberanikan dirinya.

"Mala, gue bukan berniat romantis atau gombal, ya. Gue cuma mau kita punya kenangan buat hari ini, will You Be Mine And I'll Be Yours?"

Dan Mala menyanggupinya.

"Mal, jadi cerita?" Lambaian tangan di depan mata sontak saja menarik Mala pada realita, rupanya tadi ia hanya mengenang masalalu saja.

"Gue putus sama Arta." Akunya pada teman semeja, pelan, berbisik agar tidak ketahuan banyak orang.

Perempuan dengan surai sebahu itu menatap tidak percaya, padahal Mala dan Jakarta terlihat tidak punya masalah apa-apa, lalu kenapa?

"Gue juga nggak tahu spesifiknya," lanjut Mala seolah tahu jika sahabatnya itu akan bertanya hal yang sedemikian. Tepukan pelan di bahu Mala rasakan, ia sedang di kuatkan.

Apa Mala bisa minta penjelasan panjang lebar agar ia tahu, kenapa setiba-tiba ini Jakarta mengakhiri semuanya?

🌵🌵🌵

Note :

Di tulis satu tahun yang lalu.

UsaiWhere stories live. Discover now