Part 8

254 22 5
                                    

Dering-dering panjang terus saja terdengar di telinga Arthur dan itu membuatnya lambat laun menjadi kesal, bahkan sejak tadi ia tak bisa konsentrasi bekerja. Tingkat keasaman berkadar tinggi pun tercipta dalam adonan pie apel buatan tangannya, menghilangkan rasa manis yang seharusnya juga turut ambil bagian di sana.

"Kau ke mana, Sayang?! Sudah tiga hari kau tak bisa kuhubungi. Mengapa kau mengabaikanku seperti ini, huh?!" kesal Arthur melempar ponsel ke atas sebuah meja kayu, lalu meraih loyang berisi kegagalannya tadi, "Bahkan aku sampai harus memilih apel yang sangat asam akibat perbuatanmu, Honey! Oh, shit!"

Arthur membuang kue buatannya itu ke dalam tong sampah dan menyalahkan Victoria Regina Smith, Nyonya Thomson yang menjadi gelapnya selama tiga tahun belakangan ini.

Melepas apron di tubuhnya, Arthur kembali meraih ponsel, dan masuk ke dalam toilet setelah kedua kaki melangkah lebar menuju ke sisi kiri pantri.

Usai menutup pintu dan mematut diri di depan wastafel, Arthur pun kembali menghubungi nomor ponsel Victoria, tetapi kali ini suara operator yang masuk ke dalam indera pendengarannya.

"Kau benar-benar sialan, Victoria! Mengapa kau mematikan ponselmu, huh?!" amuk Arthur sekali lagi, bahkan tanpa bisa dicegah, ia juga menghantamkan telapak tangannya ke dinding toilet, "Argh! Ssttt ..." Berteriak keras, lalu meringis kesakitan di sana.

Tok tok tok tok ....

"Siapa di dalam?! Chef, kaukah itu?" Tak ayal, kegilaan itu pun berhasil membuat seseorang bereaksi di luar pintu toilet. Orang tersebut adalah Viviane Williams, anak perempuan Tuan George Williams, pemilik The Plannary Hotel di Manhattan, tempat di mana Arthur bekerja.

"Ya, ini aku, Nona Williams," sahut Arthur mematikan kran wastafel yang sempat ia hidupkan beberapa detik lalu.

Arthur bersiap untuk keluar setelah mengeringkan tangannya, tetapi suara Viviane kembali terdengar sekali lagi, "Ada yang ingin kubicarakan sebentar, tentang pergantian menu yang kau sarankan saat rapat tadi pagi. Bisakah kau keluar dari dalam sana sebentar, Chef?"

"Ya, Nona. Aku juga sudah selesai di sini." Jujur saja, Arthur selalu merasa tak suka dengan Viviane Williams, terlebih ketika wanita muda itu dengan beraninya mengutarakan perasaannya beberapa bulan lalu.

Arthur benar-benar tak memiliki perasaan apa pun pada Viviane dan ia juga sudah menolaknya, "Baiklah, Chef. Aku akan menunggumu di ruang kerjaku."

"Iya, Nona." Namun, sebagai seorang pekerja, Arthur harus tetap berlaku profesional. Lebih-lebih ketika Viviane didaulat oleh ayahnya untuk mengurusi restoran di hotel berbintang itu.

Mengembuskan napas cukup keras, sekali lagi Arthur membawa pandangan mata pada pantulan dirinya di cermin wastafel. Entah bagaimana, tiba-tiba saja bayangan tentang Victoria berkelebat di sana tanpa henti, nyaris seperti slide film yang sedang berputar-putar.

Untuk kesekian kalinya, panggilan telepon pun dilakukan Arthur, dan nomor ponsel Victoria adalah tujuannya.

"Shit! Kau benar-benar membuat kesabaranku habis, Victoria! Lihat saja nanti. Aku memang menyarankan dirimu mengambil harta Daniel Jack Thomson, tetapi bukan dengan cara mengabaikanku, Sayang. Kau tidak akan bisa lari dariku!" batin Arthur meremas ponsel hingga buku-buku jarinya memutih. Ia bertekad akan segera menemui Victoria, meski harus mengingkari kesepakatan yang sudah keduanya setujui.

***

"Wow! Apakah aku harus membuat sebuah pesta besar di kantorku dan mengundang semua karyawanku untuk bersenang-senang, karena ini adalah kali pertama kau menginjakkan kaki jenjangmu itu di sini, Sayang?" ujar Jack bangkit berdiri dari kursi kebesarannya, membuka tangannya selebar mungkin, dan berjalan cepat ke arah pintu ruangannya yang sudah dibuka oleh Victoria. Ia merasa sangat terkejut, melihat sang istri mengunjunginya.

Teramat sangat wajar Jack melakukan hal tersebut, memperlihatkan kegembiraannya, tetapi menurut Victoria itu terlalu berlebihan.

"Aku tidak lama, Jack. Aku hanya merasa bosan di rumah dan ya ... isi kepalaku akhirnya menuntun kemari. Aku membuat sup jagung berlebihan, jadi kau harus membantuku menghabiskannya," jawab Victoria mengangkat barang bawaannya ke atas, memperlihatkan pada Jack, lengkap dengan semu merah yang tiba-tiba saja hadir di wajahnya.

Semakin menarik di mata, Jack segera mendekat, meraih barang bawaan Victoria untuk ia letakkan di atas meja kecil yang biasa ia pergunakan saat menyambut tamu-tamunya.

"Terima kasih atas perhatianmu padaku, Sayang. Kau tenang saja, aku akan menghabiskannya tanpa sisa sebagai makanan penutup nanti," ujar Jack menuntun Victoria untuk duduk di sofa, tetapi ucapannya barusan membuat sang istri sedikit kebingungan.

"Makanan penutup? Em, apa kau sudah memesan makanan sebelum aku datang? Sayang sekali aku terlambat satu langkah. Baiklah tak apa. Intinya, kau harus menghabiskan semuanya," jawab Victoria merubah raut wajah menjadi masam dan Jack terkekeh geli melihat hal itu.

Saat bokong mereka berdua sudah mendarat sempurna di atas sofa, Jack segera merengkuh tubuh Victoria, dan membisikkan maksudnya tanpa bisa menunggu lagi, "Kaulah makanan pembuka itu, Sayang. Aku akan memakanmu lebih dulu, karena kau lebih mengiurkan daripada makanan apa pun di dunia ini."

"Oh, shit! Kita sedang di kantor, Jack," balas Victoria melebarkan kelopak matanya. Semu merah di wajah cantiknya kini semakin terlihat jelas, kian pula membangkitkan hasrat dari dalam diri Jack untuk meluapkan perasaannya yang mendalam.

"Tidak ada yang berani mengganggu kita di sini, Sayang. Aku akan terus mengajarimu, bagaimana rasanya jatuh cinta pada orang yang tepat," bisik Jack tepat di telinga Victoria dan tentu saja, kini bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya mulai bereaksi.

"Oh ..." Saat bibir tebal milik Jack sudah menjalar di sepanjang leher jenjang Victoria, wanita itu pun melepaskan satu erangannya.

Bagaimana tidak, Jack bukan hanya mencumbu kulit sensitifnya, tetapi kini satu telapak tangannya pun sukses bermain di area kedua paha.

Sentuhan itu membuat Victoria tak mampu menahan lebih lama lagi, terlepas, bahkan untuk yang kedua kalinya, "Jack, ah ...."

Bahagia melihat bagaimana tubuh Victoria merespons baik semua yang telah dilakukan, Jack semakin tertantang di sana. Sudah cukup lama ia menginginkan hal manis itu terjadi di dalam ruang kerjanya, seperti aksi manis milik orang lain di beberapa video panas.

"Aku menginginkanmu, Sayang. Kau benar-benar membuatku gila!" erang Jack yang sudah menyentuh hingga ke pangkal paha Victoria.

Tak bisa dipungkiri sejak dulu Victoria selalu mampu merebut seluruh perhatian Jack dan hal itulah yang menjadi alasan, mengapa ia menikahinya.

"Aku milikmu, Jack ... Lakukan saja apa pun yang kau inginkan dariku," sahut Victoria yang mulai berkabut gairah. Kian dalam terpancing semua bujuk rayu panas Jack, suaminya.

Mendapat sinyal baik dari Victoria, wajah Jack pun segera mendekat ke arah istrinya. Bibir keduanya kini mulai saling tertaut, mencurahkan seluruh hasrat dari dalam diri. Cumbuan panas itu bagaikan milik dua sejoli yang cukup lama tidak bertemu, padahal tadi malam mereka juga sudah melakukannya, bercinta habis-habisan sebelum terlelap.

"Aku mencintaimu, Victoria ... Aku sangat mencintaimu," bisik Jack dengan napas terengah-engah, memberi jeda untuk mengisi oksigen sebanyak mungkin ke paru-parunya, lalu kembali menerkam bibir manis Victoria.

Akhir-akhir ini, Jack seakan tak pernah bosan mengungkapkan perasaannya di depan Victoria. Seolah menyatakan, bahwa hanya wanita itu saja yang pantas untuk dirinya, dan begitu pula sebaliknya.

***

BERSAMBUNG ....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 20, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The CEO Suddenly LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang