Setelah pamit Ibu dan janji nggak pulang malam, akhirnya di sinilah kami. Duduk berdua menikmati pemandangan Paklek Anwar sedang menggoreng nasi. Paklek Anwar sudah lama jualan, sejak aku kecil, Ibu dulu sering mengajakku membeli Nasgor di sini.

"Untung kamu bawa jaket. Ternyata malam ini dingin, Sar."

"Iya, dan kamu yang kedinginan sekarang. Kenapa tadi nggak di bungkus saja sih, Bim?"

"Lagi pengen kamu temenin makan di sini. Kalau di bungkus pasti aku makan sendirian hehehe ..."

Mata Bima menyipit karena tertawa, gingsulnya juga terlihat, sedang aku memutar bola mata karena tak mempan dimodusin.

"Wah, anak jaman sekarang, pedekatenya langsung ngegas."

Paklik Anwar muncul membawa pesanan kami.

"Namanya juga usaha, Lik. Ya, nggak?"

Aku pura-pura tak mendengar obrolan para pria ini. Lebih memilih menyibukkan diri menyingkirkan sayur yang ada dinasi goreng ini. Lupa tadi tidak bilang ke Paklik Anwar kalau aku tidak suka sayur.

Dari dulu, Bima memang sudah famous dikalangan remaja putri seangkatanku. Aku ingat, Fibri salah satu temanku sempat menyukainya. Bima yang suka bercanda dan gampang bergaul itu mampu membuat banyak cewek-cewek jatuh cinta padanya. Aku yakin tidak hanya Fibri yang terbuai dengan pesona seorang Bima, pasti banyak Fibri-Fibri lain secara diam-diam menaruh hati padanya.

"Fikar sudah nikah, kamu sudah .... "

"Uhuk ... Uhuk .... "

Aku terbatuk mendengar nama itu di sebut.

"Maaf ... Maaf ... "

Bima dengan cepat mengangsurkan segelas air mineral yang kemudian aku terima. Segera meminumnya berharap sedakan itu berakhir tetapi usahaku itu perlu waktu.

"Aku sudah tahu." tuturku pelan. Setelah sedakanku berhenti.

Aku berusaha biasa-biasa saja mengatakan itu. Membuat Bima sempat menatapku lama sebelum kemudian ia manggut-manggut.

Kenapa aku baru ingat? Bima dan Fikar dulu teman satu tongkrongan.

"Seperti yang kuduga, kamu cewek begini, " Bima mengacungkan jempolnya.

"Begini? Cewek angkuh, maksudnya?"

"Kok angkuh?"

Aku masih sibuk dengan Nasgorku saat Bima malah menatapku dengan tatapan yang aku sendiri tak tahu maksudnya.

"Kamu jangan sok nggak tahu, deh, Bim."

Bima tak menyahut. Ia seolah tak mendengar ucapanku. Hingga nasi habis kami masih diam, tidak ada yang berniat membuka suara.

"Ini yang di bungkus." Paklik Anwar memecahkan kebisuan, lelaki itu menyerahkan satu bungkus nasi goreng padaku, saat kami berniat pulang.

"Ini Bim." aku mengoper bungkusan itu ke arah Bima yang sedang memasukkan dompetnya ke celana.

"Buat Ibumu."

"Wah, nggak bisa dong, Bim. Ya...! Kamu keluar uang banyak dong ...."

"Kenapa sih? Aku pengen beliin Ibumu, kok."

"Tapi ...."

"Sudah malam, mau pulang nggak? Atau mau lanjut debat soal bungkusan itu sampai pagi? "

Mau tak mau aku ngalah. Bima terlalu mendominasi malam ini, membuatku merasa berhutang budi padanya.

"Kapan-kapan ganti aku yang traktir."

Sebenarnya niatku hanya berusaha agar dia mau menerima uangku, biar dia tidak terlalu keluar uang banyak malam ini. Aku terbiasa mandiri, aneh rasanya di traktir orang yang tak ada hubungan apa-apa denganku.

"Boleh. Boleh banget, Sar. Bagaimana kalau hari minggu?"

Bima menjawab sambil bermain mata genit membuatku memukul pundaknya. Sementara aku sibuk memukulnya, ia malah tertawa bahkan tidak menghindar. Apa dia tidak kesakitan kutabok?

*****
Malam itu Bima mengantarku pulang tepat waktu. Pemuda itu terus saja tersenyum saat berbicara. Dulu, saat aku sedang dekat dengan Fikar, jangankan menyapaku, tersenyum saja bisa kuhitung dengan jari.

"Sebentar, Sar. Aku mau ngomong sesuatu,"

Aku menghentikan langkah, sedikit tersentak karena lenganku kini ada di genggamannya. Aku meliriknya sebagai isyarat kalau tindakannya ini terlalu berlebihan.

"Oh, maaf."

Ada rasa lega yang menyeruak saat genggaman itu terlepas.

Ini sudah pukul sebelas malam, tapi dia malah mengajakku ngobrol lagi. Kenapa tidak dari tadi, sih?

"Apa?" tanyaku sambil bersendekap.

Bima bergeming dengan wajah aneh. Terus menatapku.

"Begini. Kamu jangan kaget denger ini,

Aku menaikkan daguku sengaja, biar dia tahu aku sudah tak betah berlama-lama di sini.

"Dari dulu yang suka aku banyak,

Bima kembali menjeda ucapannya, ia menatapku seakan mencari sesuatu dari wajahku. Entah apa.

Aku tahu banget, aku saksinya begitu banyak cewek-cewek yang tergila-gila pada pemuda di hadapanku kini.

"Tapi kenapa kamu tidak? "

Hah?!

Pertanyaan macam apa itu tadi?

"Sorry ... Sorry. Kalau kamu ilfil dengernya. Maksudku begini, kamu pasti ingat dulu banyak yang ngirim surat, hadiah, pesan buatku dan semuanya rata-rata bilang kalau mereka menyukaiku. Tapi kenapa kamu enggak? Kamu malah kirim pesan ke nomorku dan bilang secara gamblang nggak akan tertarik sama aku."

Hah?

Aku pernah kirim pesan buat Bima? Kapan?

Diam adalah caraku mengingat-ingat hal yang barangkali aku lupakan.

"Mungkin kamu sudah lupa." terlihat jelas wajah pemuda itu kecewa.

"Aku nggak pernah kirim pesan ke nomormu," gumamku pelan. Agak ragu akan ingatanku sendiri.

"Seingatku, aku malah tidak pernah menyimpan nomor kamu. Kemarin itu aku bisa tahu nomormu dari grup chat. "

Bima menatapku dengan tatapan seolah bertanya 'benarkah? '

Ia mengusap rahangnya pelan sambil tersenyum getir, " Aku di curangin, nih."

"Siapa yang curang?" tanyaku cepat. Aku masih dengar walaupun dia hanya menggumam pelan tadi.

"Bukan siapa-siapa, " Senyum Bima makin lebar.

"Tapi ya, sudahlah. Itu sudah tidak penting lagi sekarang," lanjutnya dengan mata berbinar.

Aku memilih tak ambil pusing. Walaupun sebenarnya rasa keinginan tahuanku cukup besar.

"Besok pulang kerjanya, aku jemput."

Mendengar ucapannya langkahku terhenti, tapi ketika aku hendak bicara, Bima sudah melesat pergi bersama motor gedenya.

Ada apa dengan pria itu?

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now