Aku takut dia hanya bermain-main, tapi Jaehyun bukan laki-laki yang senang bermain-main dengan perasaan perempuan. Bukannya aku membela, tapi memang begitulah faktanya. Jung Jaehyun tahu bagaimana cara memikat perempuan, tapi itu tidak lantas membuatnya menjadi pria brengsek yang suka bermain dengan perasaan mereka. Jika menyangkut perasaan, maka Jaehyun akan berubah menjadi orang paling serius dan penuh pertimbangan.

“Rose, menurutmu langit itu terbuat dari apa?” dia bertanya seperti itu padaku. Wajahnya menengadah, menatap langit sementara tangan kanannya menggenggamku dengan erat.

“Menurutmu terbuat dari apa?” responku dengan suara lembut yang membuatnya tersenyum—menampilkan kedua lesung pipit yang dalam. Dalam satu hari, berapa kali aku jatuh cinta pada Si Pemilik Lesung Pipit indah yang berstatus sebagai pacarku ini?

“Aku tidak yakin, mungkin langit terbuat dari landak berwarna biru.”

Itu jawaban paling tidak masuk akal dari semua pertanyaan yang pernah dia lontarkan padaku. Pernah suatu waktu Jaehyun berkata jika warna biru laut berasal dari air mata siren yang berwarna biru agak gelap. Dia bilang jika siren menangis karena ingin menjadi manusia, mereka juga merasa kesepian karena tak punya teman. Aku tidak mendebatnya. Pada kenyataannya, Jaehyun merupakan satu dari sedikit sekali orang jenius yang pernah kutemui. Jaehyun selalu serius dalam menyelesaikan semua tugasnya. Dan dia selalu mendapatkan nilai tertinggi pada setiap ujian tengah dan akhir semester di jurusan kami. Jaehyun juga mengikuti banyak lomba karya ilmiah dan debat politik—dia selalu memenangkannya. Benar-benar manusia nyaris sempurna.

“Rose, hari ini turun hujan. Ah, aku benar-benar suka hujan! Kau tidak masalah jika pulang hujan-hujanan denganku? Hanya sekali ini saja. Kumohon.”

Sambil tersenyum, aku membuka payung kemudian berjalan sedikit ke depannya. Biasanya aku menolak, karena badanku ringkih dan mudah sakit. Tapi kali ini, ada dorongan kuat yang mengatakan kalau aku harus mengalah dan menurutinya. “Jaehyun, kemarilah! Kurasa ini tidak terlalu buruk.”

Aku melihatnya tersenyum. Tapi ada satu hal yang menggangguku. Senyumannya kali ini terasa begitu pahit. Matanya menatapku dalam, kemudian dia berlari menghampiriku. Jaehyun meraih tanganku, mengajakku berlari di bawah guyuran hujan. Kami berlari menyusuri jalanan yang tak asing karena selalu dilewati hampir tiap hari. Hari itu, Jaehyun terlihat menanggung dua emosi dalam dirinya: bahagia dan pilu. Seolah dia akan menanggalkan satu hal paling besar dalam hidupnya.

Jaehyun berbicara tentang betapa dia akan selalu mengingat saat yang dihabiskan denganku. Jaehyun—sama seperti kebanyakan orang di luar sana—menyukai bau tanah yang bercampur dengan hujan. Katanya, dia bisa mengingat semua hal yang kami lakukan dan hari-hari yang kami lalui. Hubungan kami tidak selalu menyenangkan, dan aku selalu jadi pihak yang memulai pertengkaran. Dia akan meminta maaf untuk semua kesalahan yang kulakukan. Itu semua menjadi kilas balik yang membuatku menyesal karena tidak mengenalnya lebih awal atau jadi kekasih yang lebih pengertian. Aku cukup bodoh saat itu.

“Rose, kau tahu, mengenal dan mencintaimu merupakan dua hal paling menakjubkan yang terjadi dalam hidupku. Jika kau diciptakan sebagai bintang, aku akan tetap menemukanmu di tengah gugusan bintang-bintang. Aku merasa jika Tuhan sengaja mengatur pertemuan kita, aku sangat berterimakasih untuk yang satu itu. Rose, jika aku menangis saat ini, kau tidak akan tahu, karena air mataku akan terhapus oleh hujan.” Jaehyun berbalik, menaruh seluruh fokus pandangannya padaku. Sorot matanya begitu dalam, seolah dia bisa melihat langsung ke dalam diriku.

Aku masih bisa mengingat bagaimana Jaehyun menggenggamku saat itu. Dia menatapku seolah aku akan hilang dari pengawasannya. Mataku mengamatinya, aku mengamati setiap jengkal sudut wajahnya, kemudian berhenti di matanya. Kali ini Jaehyun salah. Bahkan meskipun hujan turun, aku bisa tahu kalau dia menangis. Dia berbicara sangat pelan, suaranya teredam oleh gemuruh hujan. Genggamannya melemah, dia melepaskannya untuk kemudian meraih dan menciumku. Aku bisa mengecap rasa asin saat bibir kami bertemu. Darahku berdesir dan jantungku berdetak dengan cepat. Di samping semua itu, ada perasaan takut kehilangan yang memenuhi benak kami berdua. Jaehyun tidak seceria biasanya sore itu. Dan untuk satu alasan yang tidak kupahami saat itu, di depan rumahku, kau mengeluarkan satu ikat bunga carnations dengan satu baris pesan: Aku akan selalu mencintaimu.

The Thing Between UsWhere stories live. Discover now