2. Welcome To Dunia Fiksi

230K 26.3K 470
                                    

-H A P P Y R E A D I N G-

"Nih, tas lo."

Dengan senang hati Araya menerimanya. Kegiatan belajar mengajar hari ini sudah selesai. Beberapa siswa sudah pulang dan ada juga yang masih di sekolah untuk mengikuti kegiatan tambahan seperti ekstrakulikuler.

"Makasih," ucap Araya.

"Apa? Lo bilang apa barusan?"

"Makasih."

"Coba ulangi?"

"Telinga lo budek apa gimana? Gue bilang, makasih," ucap Araya jengah.

"Tumben bilang makasih, biasanya juga seenaknya lo sama gue."

Araya menghela napasnya. Dia tau bagaimana sifat Araya Loovany yang kadang seenaknya sendiri. Dan Elita satu-satunya orang yang mau menjadi sahabatnya, setelah dirinya dicap menjadi sang antagonis.

"Gue tadi liat abang lo udah balik duluan, termasuk si Alaskar," ucap Elita dengan nada tidak enak.

"Terus?"

"Mereka baliknya barengan, ada si Kiran juga."

"Oh."

Dengan santainya Araya menjawab sembari keluar dari ruangan UKS diikuti oleh Elita di sampingnya.

"Oh?" ulang Elita bingung. "Lo gak marah?"

Araya melirik ke arah Elita sembari mengedikkan bahunya acuh.

"Buat apa gue marah? Itu terserah mereka. Gue udah cape sama semuanya. Dan setelah kejadian tadi yang gue kena pukul bola basket sama si Alaskar, gue jadi gak ada perasaan apapun sama dia."

"What?! Semudah itu?"

Araya mengangguk. "Gue mau berubah. Gue cape dicap sebagai antagonis mulu, padahal gue gak salah."

Ya, menurut Araya sendiri. Sebenarnya Araya di dalam novel tidak salah sama sekali. Karena jauh sebelum datangnya Kiran, Araya dan Alaskar sangat begitu dekat, layaknya orang pacaran. Dan ketika Kiran datang, semuanya berubah dalam sekejap, termasuk dengan Abangnya, Aldarren.

"Ray .... "

"Apa?"

Araya menghentikan langkah kakinya ketika Elita tiba-tiba berhenti dan memandang ke arahnya dengan tatapan yang menurutnya sangat aneh.

"Lo kenapa, sih?" tanya Araya heran.

"Lo tau, Ray?"

"Ya, kagak, lah. Lo kan belum ngomong apa-apa."

"Lo tau? Ini yang gue nanti-nantikan selama ini. Gue udah muak liat lo selalu dibilang jahat sama orang-orang, gue muak liat lo direndahkan sama anak Ravloska, termasuk abang lo sendiri."

"Dan sekarang lo tobat. Gue seneng banget, gila!!" lanjut Elita menggebu-gebu.

"Ada hikmahnya juga kepala lo kena bola basket."

Araya akui Elita sangat tulus mengatakan hal tersebut. Karena terlihat dari pancaran matanya yang tidak ada kebohongan sama sekali.

Padahal alasan dirinya mengatakan hal tadi, karena ia tidak mau berakhir dengan mati konyol gara-gara cinta, apalagi ditangan sang protagonis tokoh utama.

"Gue mau nanya," ucap Araya tiba-tiba dengan raut wajah serius.

"Nanya apaan?"

"Yang bawa gue ke UKS tadi siapa?"

Elita tampak berpikir. "Yang gue denger dari anak-anak sih, si Alaskar."

"Alaskar?"

***

Araya memandang bangunan megah di hadapannya dengan kedua bola mata membulat sempurna.

"Ini beneran rumah gue?" tanya Araya kepada dirinya sendiri.

Araya pulang diantarkan oleh Elita dengan selamat. Tidak mungkin ia pulang sendiri, karena dia saja tidak tau alamat rumahnya dimana.

"Non Aya ngapain atuh bengong di situ? Ayo masuk."

Araya tersadar dari lamunannya saat laki-laki paruh baya dengan memakai seragam satpam membukakan pintu gerbang untuknya.

"Mang, ini rumah Araya?"

"Lah, emang ini rumah Non Aya. Non mah ada-ada aja pertanyaannya," ucap satpam tersebut yang diketahui namanya Didi.

Araya hanya nyengir saja. Ia langsung pamit kepada Mang Didi dan melanjutkan langkah kakinya menuju pintu rumah.

Aya merupakan nama panggilan yang hanya orang-orang tertentu yang bisa memanggilnya dengan sebutan itu. Hanya keluarganya dan anak-anak Ravloska yang memanggil dirinya dengan nama tersebut.

Perlahan Araya membuka pintu utama rumah. Saat pintu terbuka, hanya keheningan yang dapat Araya rasakan. Tidak ada siapapun saat ia membuka pintu rumahnya.

"Beda banget sama kehidupan gue. Kalo gue pulang sekolah pasti ada nyokap yang nyambut kepulangan gue," monolognya.

Di kehidupannya dulu, Araya memang bukan terlahir dari keluarga kaya raya seperti Araya Loovany. Namun, semua kebutuhannya bisa terkecukupi. Dia memiliki kedua orang tua yang sangat menyayangi dirinya, dan juga adik laki-laki yang berusia tujuh tahun.

Saat Araya pulang dari sekolah, biasanya Bunda Araya sudah menunggu kedatangan dirinya, dan menyambutnya. Bahkan makanan untuk Araya sudah tersedia di meja makan.

Araya menghela napas panjang. Hatinya sedikit sesak saat mengingat keluarganya di dunia nyata. Ia merindukan mereka.

"Mari kita lihat bagaimana kehidupan dunia fiksi yang sebenarnya."

-batas suci-


TRANSMIGRASI ARAYA [SEGERA TERBIT] Where stories live. Discover now