6• Rindu Tak Berujung Temu

Începe de la început
                                    

"Lalu kenapa muka kamu penuh lebam? Apa kamu sudah bertarung dengan setan-setan disana?" tanya Abizar, penuh intimidasi.

"Jevian, beneran ke makam Mama, Pa. Cuman waktu mau arah pulang tadi nggak sengaja lihat orang yang lagi di keroyok sama preman. Jadi,  aku bantu dia dulu," jelasnya.

Mendengar itu, Abizar hanya tertawa remeh. Mana mungkin anak itu bisa melawan seorang preman, sedangkan di rumah ketika anak itu ia siksa secara habis-habisan saja tidak pernah berontak atau pun melawan. Jevian selalu terlihat lemah, dan tidak pernah ada apa-apanya.

"Tidak usah jadi jagoan. Percuma saja kamu tetap tidak terlihat hebat dengan melakukan itu. Mending kalau selamat. Kalau tidak, gimana? Pasti saya juga yang repot!" cetus Abizar sembari membuang muka.

"Jevian bantu-nya ikhlas, Pa. Jadi, gak butuh untuk di sanjung." ia menjeda ucapannya lalu menatap Abizar. "Kalau pun, Jevian, gak selamat. Ya, artinya Jevian, nyusul Mama. Bukanya itu malah bagus? Nanti gak akan ada yang membuat papa repot lagi, kan? Kalau pun merepotkan, seenggaknya itu untuk yang terakhir kalinya."

Abizar hanya geming ketika suara Jevian mengudara begitu saja di telinganya. Perasaan getir tiba-tiba saja hadir dengan sendirinya. Setiap kata yang anak itu ucapkan seperti sebuah keluhan dan juga penekanan, atas semua hal yang membuatnya merasa tidak pernah di harapkan.

Tanpa menunggu jawaban dari Papa, Jevian lebih memilih untuk kembali merajut langkahnya—meninggal Papa yang masih terdiam di tempatnya.

Satu persatu anak tangga telah ia lewati, tepat di penghujung tangga terakhir matanya tak sengaja bersitatap dengan Jean yang hendak ingin turun ke bawah. Keduanya hanya saling melempar pandangan. Jean hanya menatap Jevian dengan tatapan penuh kebencian, sedangkan Jevian hanya membuang muka pada saat bertemu dengan kakaknya.

"Buat ulah apalagi lo?" tanya Jean dengan ketus.

Jevian tak mengindahkan itu semua, ia masih terus melanjutkan langkahnya. Hingga suara Jean kembali mengudara, dan berakhir membuatnya langkahnya terhenti begitu saja. Ia tak berbalik, Jevian sudah tak mampu lagi untuk meladeni orang-orang rumah yang selalu menempatkan dirinya pada bagian yang paling salah.

"Gue lagi bicara, Jevian!"

Jevian hanya menghela napasnya, berusaha menetralkan segala sesak yang selalu mendekapnya ketika berada di rumah.

"Gak usah ditanya gue kan serba salah di rumah ini." ucapnya lalu berjalan melewati Jean.

Lelaki bertubuh tinggi besar itu hanya menarik napasnya kasar ketika melihat Jevian melaluinya begitu saja.

"Lihat Ma, anak yang Mama perjuangin. Sama sekali gak berguna dan selalu membuat onar." gumam Jean.

***

Jevian membaringkan tubuhnya di atas kasur kamarnya. Dia menatap langit-langit kamar, lalu menatap ke arah samping dimana terletak sebuah tempat belajar.

Ia berdecak sebal, lalu beranjak dari tempat tidur untuk beralih duduk di meja belajar.
Tampak buku-buku tebal di hadapannya. Ia hanya bisa menarik kasar napasnya sembari membuka lembaran demi lembaran dari setiap buku-buku tebal.

"Sebenarnya gue capek. Tapi, kalo gue istirahat gue takut nggak bisa menguasai materi-materi buat olimpiade nanti. Mana jaraknya udah mepet banget. Jadi, gue harus belajar lebih keras lagi."

Sudah hampir sekitar tiga jam ia berkutat dengan buku-bukunya. Juga sesekali mengahafal beberapa materi dan rumus-rumus yang kemungkinan besar akan ia dapati di perlombaan nanti.

Dirasa sudah cukup untuk belajar. Dia mulai menyimpan pulpen dan menutup buku-buku di hadapannya. Jevian, mulai mendongkakan wajahnya menatap kearah jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 pagi.

JevianUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum