21_falling for you

Mulai dari awal
                                    

"Mau ditemenin nggak, pulangnya?"

"Waduh, cantik fisik doang, tapi sombongnya kebangetan."

Kalimat itu meluncur saat Isy sudah berada di atas motor. Sekali lagi, gadis itu menulikan telinga. Dia fokus untuk menyalakan mesin kendaraan. Hingga akhirnya, cemas menyerang saat tidak ada bunyi berarti yang dia dapatkan. Usahanya tidak berbuah. Benda besi itu setia dalam geming, tak mau mengantar pergi pemiliknya.

"Nah, kan. Butuh bantuan kita juga."

Masih saja, Isy tidak menjawab. Meski samar-samar, dia dapat mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Netranya konsisten menyinarkan harap, bahwa motornya bisa bekerja sama sekarang juga. Tidak peduli meski dari sudut mata, tubuh-tubuh terlihat mendekat.

"Sini. Untung cantik, jadi dimaafin."

Entah suara orang yang keberapa, tetapi kini volumenya semakin besar saja. Jelas jika ia tepat berada di samping Isy. Kalimat-kalimat lain bersahutan. Sampai rasanya, telinga Isy sudah enggan menampung suara-suara menjijikan tersebut.

Sampai dirasanya ada tubuh yang semakin mendekat, Isy meremas udara kosong dan menolehkan kepala ke samping, di mana orang-orang tak beretika itu berada. "Norak." Dia berucap tegas. Kali ini, didapatinya wajah-wajah yang tak pernah ingin dia ingat. Wajah-wajah yang kini saling melempar tatap dengan kawanannya, sedang seringai dibiarkan bersemayam di masing-masingnya.

"Ya elah, sewot amat. Nggak bisa diajak basa-basi banget jadi orang. Lo pasti nggak punya temen, ya?"

Tawa menyembur, tetapi Isy tidak menurunkan tatapan tajamnya. Bukankah lemah hanya akan membuatnya terlihat semakin mudah untuk diinjak-injak oleh mereka yang bahkan lebih pantas disebut sampah?

"Temenan sama kita ajalah udah. Biar kalo motor lo mogok, punya one call away."

"Halah, sok bule lo, Dam." Lagi. Tawa yang seolah tak mengganggu siapa pun. 

Bohong jika Isy tidak takut. Dia duduk di atas motor saat ini, dan lima orang di hadapannya tentu lebih dari mampu untuk berbuat macam-macam dengan gadis itu. Akan tetapi, Isy bisa apa lagi? Dia bisa apa lagi, saat perlahan matanya justru memanas bersama bayangan pudar yang melintas. Mata yang diatur untuk memberikan sorot muak, kini perlahan meredup, bersama gerak seseorang yang terlihat hendak meraih stang motornya.

"Udah, gue bantuin sini."

Ingin sekali Isy menepis. Akan tetapi, apa yang akan terjadi selanjutnya jika dia melawan semakin banyak? Apakah mereka akan kehilangan kesabaran sebagaimana yang sebenarnya Isy rasakan sekarang?

"Bang, minggir. Nggak usah gangguin orang, apalagi cewek. Dunia udah sesek, nggak perlu ditambahi ulah sampah kayak kalian."

Berbeda dengan suara yang dari tadi Isy dengar, kali ini gadis itu menyambutnya dengan harapan. Perlahan dia mengerjapkan mata, mencoba melirik pemiliknya meski tidak berhasil, sebab kepala gadis itu masih lurus menghadap segerombolan orang yang menyebalkan. Satu yang dia tahu, mereka mundur sedikit.

"Lah, gue mau nolongin elah. Nyerocos aja mulut lo."

"Gue nggak tuli, kalau lo mau tahu." Suara itu dingin, mencekam. Lain dengan nyaman yang biasa Isy dengar. Gadis itu memainkan cincinnya dengan satu tangan yang masih bertengger di stang.

"Ya nggak usah laporan sama kita-kita. Emang kita emak lo?"

Suara tawa terdengar lagi, tetapi Jaza tidak menanggapi. Isy tidak tahu bagaimana raut lelaki itu. Satu hal, dia merasakan kehadiran Jaza tepat di belakangnya.

"Santai aja tuh mata. Nggak usah melotot kayak gitu. Lagian cewek gini doang lo belain sampe ngata-ngatain kita. Berapa, sih, semalem?"

Kalimat itu ... entah mengapa terasa sakit sekali. Napas yang semula kembali pada ritme normal setelah kedatangan Jaza, kini tercekat sepenuhnya. Tidak ada oksigen yang cukup mampu menerobos masuk. Satu, dua, tiga, lalu puluhan bayangan menyerbu kepala.

Protect At All Costs (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang