Prolog

9 2 0
                                    

- GET AWAY -

***

Langit sudah menggelap. Dinginnya kian menggerogoti kulit.

Bocah itu merapatkan kedua tangannya dalam saku hoodie. Kakinya terus melangkah. Menapaki trotoar sambil menikmati suasana kota malam. Getaran dipunggungnya tidak dia pedulikan. Sejak tiga jam yang lalu setelah ponselnya berbunyi. Hanya ada satu orang yang terus menerornya hingga ratusan panggilan.

Tanpa tujuan pasti. Bocah itu membiarkan raganya bergerak. Mengajak jiwanya pergi dalam kesendirian.

Namun, suara jeritan itu kembali menarik dirinya pada realita.

Bocah itu terdiam. Menyaksikan dua orang dewasa di depannya.

Di ujung sana. Seorang pria dengan penampilan urak-urakan membawa seorang wanita tanpa kelembutan. Lengannya dicengkram kasar. Ditarik paksa menuju sebuah lorong gelap. Wanita itu memberontak. Langkah kakinya tergopoh-gopoh. Bibirnya terus berteriak meminta pertolongan.

Mereka yang mendengarnya hanya menoleh, tanpa berbuat. Sebagiannya lagi hanya diam, pura-pura tak tahu. Tidak ada yang mau mendekat. Mereka mengabaikannya.

Tubuh itu semakin berontak. Kepalanya terus menoleh ke berbagai arah. Ada harapan kecil dalam bola matanya.

Bocah itu menghela napas lelah. Kepalanya mendongak. Dengan tekad yang kuat. Raga itu bergerak. Membawa jiwanya dalam tujuan yang pasti.

Bugh!

Bukan pukulan keras. Tapi, berhasil membuat cekalan itu terlepas dan memaksa seluruh pasang mata untuk beralih ke arahnya.

Preman itu berteriak geram. Tubuhnya berbalik. Matanya merah. Menatap si pelaku dengan marah.

"Hoho" bocah itu bersuara. Nadanya kelewat riang. "Tidak semudah itu Ferguso"

Tangan kanannya memutar botol Tupperware eco man -kesayangan papanya- dengan lincah. Senjata yang tadi dia gunakan untuk memukul kepala si preman.

"Jangan ikut campur. Bocah anjing!" Teriakannya menyeramkan. Ada tekanan emosi di kalimat terakhirnya. Namun, sama sekali tak membuat bocah itu gentar sedikit pun.

Dengan berani, kaki itu melangkah maju. Tubuh mungilnya berdiri tegak. Ukurannya sangat kontras dengan tubuh lawannya.

"Anjing kok bilang anjing?" Bocah berhoodie itu tertawa. Matanya berkilat jenaka.

Wajah si preman kian memerah. Amarahnya berhasil terpancing. Jika dianimasikan. Mungkin sudah keluar asap dari telinganya.

Preman itu mendekat. Tangannya menarik hoodie hitam itu ke atas dan menahannya di tembok. Raut jenaka tadi hilang. Kakinya tidak lagi berpijak pada tanah.

Satu kepalan tangan mendarat di pipi. Pukulannya cukup keras hingga kepalanya ikut terbawa kesamping. Suara terkesiap terdengar seiring dengan pukulan berikutnya. Lagi dan lagi. Hingga pria berambut ikal itu tertawa senang.

"Anak kurang ajar. Harus dihajar"

Tubuhnya dilempar ke aspal. Bocah itu batuk. Suaranya terdengar memilukan. Orang-orang mengalihkan pandangannya. Tidak kuat menyaksikannya lebih jauh lagi.

Preman itu kembali beralih ke target wanitanya. Tangannya merogoh saku celana. Mengeluarkan sebatang rokok dan mengapitnya dibibir.

Tapi, mereka salah jika berpikir dirinya lemah. Bocah itu menekan pipinya yang terasa kebas. Dia meludah. Tubuhnya kembali bangkit. Tanpa suara. Kakinya melangkah, mendekati sosok itu. Tangan kanannya terangkat. Siap mengayunkan botol minum tadi.

"Bangsat!"

"Non" ucapan bocah itu berhasil membekukan pergerakan si preman.

Pria itu tergugu. Warna wajahnya berubah pucat. Kakinya bergerak mundur perlahan. Nafasnya memburu. Berbagai umpatan keluar. Namun, kali ini, tidak ada perlawanan apapun. Dengan tergesa, pria itu berlari pergi.

Wanita tadi langsung terduduk lemas. Nafasnya masih tersenggal. Kedua matanya memejam. Bibir merahnya terus mengucapan kata terimakasih kepada sosok penyelamat yang kini ikut berjongkok di hadapannya.

Bocah itu membantunya. Tangannnya memapah tubuh si wanita untuk berpindah ke tempat yang lebih nyaman.

Wanita itu terus menatapnya. Tangan lembutnya terulur menyentuh luka lebam tadi. Pupil matanya agak bergetar.

"Sakit ya, nak?"

Si bocah hanya tersenyum. Mereka berbincang hingga bunyi klakson mengambil alih atensi keduanya. Dua mobil GLS63 AMG berhenti di depan mereka.

Empat pria berjas hitam keluar dari salah satu mobil. Besar tubuhnya menyerupai binaragawan terkenal, Ade Rai. Bocah itu merinding.

Satu pria berkemeja hitam tanpa dasi dan jas mendekat. Lengan kemejanya digulung sampai siku. Tubuhnya tidak sebesar empat pria dibelakangnya. Tapi aura pria itu justru terlihat paling berbahaya.

Langkah kakinya tegas dan pasti. Raut khawatir terlukis jelas diwajahnya.

Pria itu menghampiri si wanita tadi. Mereka berpelukan cukup lama. Tanpa di duga, pria itu menoleh ke arahnya. Bocah berhoodie hitam itu kalabakan sendiri.

Dia memalingkan wajah ke arah lain. Berniat menghindar. Namun, malah berujung dengan pertemuan tak terduga.

Ketidaksengajaan itu menarik empat mata untuk saling bertubrukan. Iris mata itu terlalu dingin. Tidak terlihat adanya kehangatan disana.

Dia berkedip.

Merasa kehadirannya tak lagi dibutuhkan. Bocah yang belum genap 15 tahun itu akhirnya memutuskan pergi. Wanita tadi menahannya. Memaksanya untuk ikut bersama mereka. Tapi, bocah itu menolak dengan halus.

Kepalanya menunduk singkat.

Salam perpisahan itu disambut dengan tidak rela. Saat dia berbalik, bocah berhoodie itu menyempatkan bola matanya untuk berbelok.

Kali ini, dia sengaja ingin sedikit berlama disana.

Namun, bocah itu tidak sadar kalau tingkahnya justru mengusik sang empu. Membangunkan jiwa lain yang telah lama tertidur.

Onyx itu bergerak. Mengawal kepergian tubuh si hoodie hitam yang kian mengecil tertelan kota.

Bibirnya menyeringai.

Now, he wanted it.

***

Get Awayحيث تعيش القصص. اكتشف الآن