Bagian 8 Awal Mula Ayah dan Ibu

9 0 0
                                    


Dulu Ibu pernah bercerita bagaimana akhirnya bisa menikah dengan Ayah, ketika kami berbincang berdua saat malam hari. Ibu selesai mendongengkan sebuah cerita untukku sebelum tidur, namun aku belum mengantuk. Rasa penasaranku yang besar, membuatku memberanikan diri bertanya mengenai pertemuan Ayah dan Ibu. Bagaimana dua orang ini bisa saling mengisai kehidupan satu sama lain? Hingga lebih banyak kusaksikan pertengkaran dibandingkan rasa kasih sayang. Mulailah Ibu bercerita sembari berbaring berdua denganku di ranjang.

"Dulu, Ibu kenal Ayah kamu itu dijodohin sama Nenek. Pertama kali ketemu Ayah, dia orang yang pemalu. Penampilannya sederhana, pakai jaket jeans, celana kain hitam dan kaos putih. Nenek bilang, Ayah kamu anak orang kaya. Ibu yang waktu itu dijodohin, mana berani nolak? Bisa diceramahin tujuh hari tujuh malam. Apalagi yang namanya keputusan nenek itu mutlak!"

"Terus?" tanyaku penasaran sembari kepalaku menoleh ke Ibu.

Perempuan yang telah membawaku ke dunia ini, menuturkan kisahnya tanpa mengalihkan pandangan dari langit-langit. Tangan kirinya asyik mengusap pelan rambutku.

"Ya, kita perkenalan dulu lah. Ayah kamu setiap malam minggu, ngajak Ibu makan bakso di pinggir jalan."

"Ayah ngajak Ibu makan bakso?" tak kusangka, ceritanya antara romantis dan klise.

Ibu menoleh ke arahku.

"Iya. Ya, namanya orang kalangan menengah, kalau pacaran enggak bisa ke tempat-tempat yang mahal. Apalagi zaman dulu, belum banyak tempat nongkrong kayak sekarang."

Itu terdengar masuk akal. Uang dari mana kalau untuk gaya pacaran yang mahal. "Iya, juga, ya. Eh, tapi kata Ibu, Ayah itu anak orang kaya."

"Nah, itu. Ibu asal manut aja. Habis itu, mulai deket."

"Ayah kamu, awalnya kerja di pabrik besar. Gajinya lumayanlah, Ibu percaya aja. Kami terus surat-suratan, saling kirim kabar dan bertemu di malam minggu."

"Ibu sama Ayah surat-suratan?" Aku menaikkan alis.

"Zaman dulu belum ada hape, makanya pakai surat."

Aku mengangguk-ngangguk serius. Cerita kali itu adalah versi terlengkap. Karena kadang-kadang Ibu hanya cerita sepotong-sepotong.

"Ya rutinitas itu sekitar dua bulan untuk mengenal satu sama lain, dan kita sepakat untuk menikah." Ibu menarik napas.

Aku tak bisa membaca ekspresi Ibu saat itu. Terlihat gusar, sedih, mengenang masa lalu yang tanpa sadar aku korek dalam-dalam.

"Setelah menikah, ternyata enggak mudah. Ayah kamu ternyata sakit dan tiba-tiba keluar dari pabrik tanpa ngomong dulu. Ibu yang pontang-panting cari kerjaan waktu itu."

Ibu berhenti sejenak, seolah mengeluarkan semua hal yang mengganjal dalam hati.

"Terus ... Ayah kamu coba usaha bengkel. Lumayan jalan, tapi kamu tahu sendiri selanjutnya, ada kejadian krisis ekonomi dan kerusuhan di tahun sembilan delapan."

Aku seperti ikut terlempar di waktu itu. Mungkin, aku belum paham. Tapi, sekarang aku mengerti bagaimana perasaan Ibu waktu itu. Bagaimana otak dan hatinya terus-terusan bertahan hingga sejauh ini.

"Itu adalah hal terburuk yang pernah terjadi di keluarga kita. Maka dari itu, waktu kamu kecil, Ibu cuma mampu beli susu ukuran paling kecil dan itupun habis dalam dua hari. Sekarang lebih beruntung, Ayah kamu udah bisa kerja lagi. Ibu juga bisa bantu dikit-dikit."

Refleks aku memeluk pinggang Ibu dari samping. Ibu merubah posisi dan mendekap tubuhku dan mengusap rambutku dengan lembut. Tak ada hal yang ternyaman selain dekapan orang yang kita sayang. Aku sudah lupa kapan terakhir kali seperti ini bersama Ibu.

Tanganku semakin erat di pinggang Ibu, seperti transfer kekuatan. Mungkin aku tidak bisa apa-apa sekarang. Hanya bisa memeluk Ibu dan berharap semua akan baik-baik saja.

Malam itu, secuil cerita itu membuatku mengerti. Alasan dibalik setiap pertengkaran, alasan dibalik segala teriakan. Ibu yang berusaha sabar, dan lebih memilih mengalah. Meski semua itu memang ada batasnya. Jika sudah habis batasnya, Ibu bisa meluap-luap.

Ya, aku sekarang tahu alasan kita serba kekurangan. Sampai aku menahan lapar.

Suatu hari saat istirahat sekolah, aku tak punya uang untuk mengganjal perut. Penjualan barang bekas kemarin juga tak seberapa. Sudah kubelanjakan untuk beli bahan tugas karya seni sekolah. Lambungku sudah merintih minta diisi. Aku hanya bisa meringis menahan perih. Berharap waktu istirahat segera selesai dan sekolah cepat bubar. Aku ingin cepat-cepat pulang dan makan siang.

Seperti biasa, geng empat serangkai duduk melingkar di bawah pohon rindang yang ada di lapangan sekolah. Ubay, Furqon, Ifan mereka masing-masing membeli sepotong roti coklat dan es teh yang terbungkus plastik. Aku hanya bisa tersenyum dan mempersilahkan mereka makan, namun apa daya? Perutku berbunyi semakin keras.

"Udah deh, ngaku aja kalau laper! Nih, aku kasih roti!" Furqon yang duduk di sampingku memberi sedikit potongan roti untukku.

Ubay juga menyodorkan minumannya. "Ini juga, minum biar nggak seret!"

"Aku juga punya biskuit coklat," Ifan juga yang duduk diseberangku menjulurkan tangannya memberikan potongan biskuit. Aku menerima pemberian mereka satu per satu dan tersenyum.

"Makasih, ya. Kalian emang sahabat paling baik!"

Ya, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi tentang ini. Haru memenuhi runag hati. Aku yakin, salah satu keberuntungan dalam hidupku adalah memiliki mereka. Furqon, Ubay dan Ifan, teman masa kecilku.

"Iya, Man. Meski kamu lelet waktu lari, kamu tetep sahabat kami." Ifan cengengesan.

Dasar anak satu ini! Dia merusak suasana haru jadi candaan. Pengen aku tempeleng rasanya, eh ... tapi dia baik juga.

"Kamu juga jangan lupa ajari kita PR, ya? Kamu kan paling pinter!" Furqon menimpali dengan cengengesan.

"Ye ... jadi ini bayarannya itu aku ngajarin atau nyontekin?" godaku.

Dari kami berempat, memang aku yang selalu mendapat peringkat satu di sekolah. Semua pekerjaan rumah terselesaikan. Ulanganku juga selalu mendapat nilai yang bagus. Rapotku tak ada nilai merah.

Ya, aku mungkin lupa bercerita. Atau, aku sudah bercerita di depan? Aku memiliki prestasi akademik. Namun, di sisi lain, fisikku lemah. Meski, tetap sesekali bekerja ikut Ayah. Mudah capek.

Kami semua tertawa terbahak-bahak setelah itu. Bersahabat dengan mereka, membuatku mengerti bahwa hidup itu indah. Di tengah keluarga yang entah bagaimana akhir kisahnya nanti, aku memilki mereka sebagai pelipur lara dan selalu mengerti keadaan.

****

Filosofi KeluargaWhere stories live. Discover now