Bagian 4 Usaha Sendiri

8 2 2
                                    


Aku akan melakukan apapun selagi halal, asalkan bukan mengemis. Bahkan saat masih kanak-kanak, aku lebih memilih berusaha dengan tanganku sendiri dibandingkan meminta-minta. Ayahku saja, jarang memberiku uang saku tambahan.

Yang aku tahu, Ayah bekerja dibengkel milik temannya dengan penghasilannya tak seberapa. Bekerja sebagai montir, membuat Ayah kadang pulang dengan wajah cemong dan baju lusuh karena oli. Ayah hanya tamatan SMP yang suka dengan otomotif. Menurut ceritanya, dulu Ayah punya bengkel sendiri, tapi bangkrut karena krisis ekonomi di tahun 98'. Saat itu aku masih berusia empat tahun.

Badan Ayah termasuk besar, ditambah perut buncitnya yang persis seperti orang hamil. Rambutnya yang dipotong cepak, berpadu dengan wajah yang menurutku 'menyeramkan'.Tak heran, banyak orang yang segan.

Sedangkan Ibu, membantu mencari nafkah dengan menjadi buruh cuci tetangga. Beliau juga hanya tamatan SMP. Tidak punya keahlian selain mencuci. Apalagi, sedari kecil Ibu dididik untuk melakukan pekerjaan rumah. Jadi, hanya keahlian itu yang Ibu punya.

Ibuku sendiri berbadan ramping. Bahkan, tak ada perubahan sama sekali meski sudah melahirkanku. Mungkin, kalau Ibu berdandan sedikit lebih rapi, mengaku single pun, orang-orang akan percaya. Tapi, faktanya Ibu lebih sering memakai daster kain yang bermotif bunga dan rambut diikat apa adanya. Wajahnya pun jarang tersentuh riasan kecuali jika ada acara kondangan.

Bermula di pagi itu, saat sarapan bersama di meja makan. Aku buru-buru menghabiskan makananku, dan harus berangkat ke sekolah. Setelah isi piringku habis, aku memberanikan diri untuk bilang ke Ayah.

"Ayah ..., minta uang buat ke sekolah, dong!" pintaku dengan rasa takut kepada Ayah yang masih menikmati makanannya.

Telapak tanganku menjulur seperti orang yang meminta. Namun, jantungku sudah berdegup kencang luar biasa. Seperti uji nyali, aku akan beruntung jika diberi atau buntung, ditolak mentah-mentah.

Ayah baru selesai mengunyah, "Kamu tahunya minta, aja! Enggak ada!"

"Kamu gimana to, namanya anak kecil ya wajar minta uang jajan," bela Ibu dengan nada lembut yang duduk di seberang Ayah, sembari menuangkan air putih ke gelas untukku.

Tangan Ayah menggebrak meja, "Kamu, kan tahu kondisi keuangan kita? Buat makan aja pas-pasan. Belum bayar listrik, air, kontrakan!" seru Ayah tak mau kalah.

Ibu yang baru saja menyodorkan air kepadaku, menyanggah dengan nada yang sedikit meninggi, "Iya, tapi kamu bisa menolak dengan cara halus. Kenapa harus membentak?"

Mereka menjadi adu mulut sendiri, hal yang biasa terjadi. Ini adalah salah satu peristiwa yang selalu membuatku bertanya hingga sekarang. Apakah ini yang disebut keluarga? Selalu ribut setiap pagi? Pepatah bilang 'rumahku adalah surgaku', namun apakah surga tempat orang yang bertengkar? Nyatanya, di rumah selalu ada pertengkaran antara Ibu dan Ayah. Jadi, apakah layak dinamakan surga?

Setelah menandaskan segelas air, aku lebih memilih untuk berangkat tanpa cium tangan kepada orang tua. Rasanya, adat istiadat itu, hanya berlaku jika kamu menaruh hormat pada mereka. Tapi, yang kurasakan adalah sebaliknya. Sulit untuk menaruh rasa hormat pada mereka, hingga akhirnya membuatku berat untuk mengecup tangan kedua orang itu.

Alih-alih mendapat uang saku, aku malah mendapat bentakan. Maka dari itu, kadang aku mencari barang bekas ketika berangkat dan pulang sekolah. Bermodalkan karung yang kusembunyikan di tas, jadilah aku pemulung dadakan. Semua itu aku jalani dengan gembira.

Lalu sebelum pulang ke rumah setelah jam sekolah usai, aku akan ke pengepul dekat jalan raya, untuk menjual barang-barang yang terkumpul. Jadi, kegiatan memulung diam-diam itu, tak pernah ketahuan oleh orang tuaku. Aku pulang dengan tangan kosong layaknya siswa yang lain.

Koh Acong, panggilan akrab pria setengah baya yang membuka usaha pengepul rongsokan. Meski keturunan Tionghoa, Koh Acong sangat baik padaku. Beliau selalu menambahkan beberapa ribu rupiah dari harga yang semestinya. Andai Koh Acong adalah orang tuaku, pasti menyenangkan. Seperti siang itu, aku berada di tempat Koh Acong yang penuh dengan kertas-kertas, kardus-kardus, dan botol-botol bekas yang masih harus dipisah. Ada beberapa orang yang bertugas memisahkannya, sedangkan Koh Acong sendiri berada di balik meja, siap dengan timbangan besi yang besar. Setelah dihitung dengan benar, aku hanya bisa mengumpulkan sekilo botol plastik dan sekilo koran bekas. Itu jumlah yang lumayan. Lantas, Koh Acong mencatat di buku batik, dan memberiku uang hasil penjualan.

"Ini, kebanyakan, Koh," ujarku setelah menerima lima lembar seribuan.

"Nggak apa-apa, Man. Buat jajan, ya," ucap Koh Acong.

Lantas, aku berterima kasih dan segera pulang dengan diiringi senyum semringah. Ada perasaan bangga, akhirnya aku bisa mencari uang. Setidaknya, aku tak perlu uji adrenalin lagi karena harus meminta uang kepada Ayah.

Koh Acong geleng-geleng kepala sendiri, mungkin karena melihatku yang kegirangan mendapatkan uang dari hasil kerja kerasku.

Selepas itu, aku pulang dengan aman dan bergegas ke kamarku yang letaknya tak jauh dari dapur, lalu memasukkan tiga lembar ke celengan kaleng. Sisanya lagi, aku masukkan ke tas, untuk saku besok. Semua itu menyenangkan, aku jadi tahu sensasi bagaimana rasanya mendapatkan penghasilan sendiri.

Prinsip itulah yang aku pegang hingga sekarang, aku tak suka merasa dikasihani. Aku akan berjuang untuk kebahagiaanku sendiri. Mungkin, memang tak mudah. Namun, Rahman kecil sudah paham, bahwa hidup penuh dengan rintangan.

Ada yang bilang kamu bisa tumbuh dengan rasa kecewa, mungkin itu benar. Aku salah satu orang yang tumbuh diiringi rasa kecewa dan penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang ingin segera kuenyahkan.

Lamunanku buyar ketika sekretarisku masuk ke ruangan dan memberitahu bahwa sebentar lagi akan ada meeting dengan manajer yang lain.

Aku mengusap-ngusap wajahku, berusaha mengembalikan kesadaranku. Kurasakan panas menjalar dari dada hingga ke belakang leher, meskipun sudah berada di tempat ber-AC. Ternyata, mengenang masa lalu itu cukup menguras emosi dan tenaga.

"Mei, tolong siapkan bahan ye," ucapku dengan bahasa Malaysia.

Mei keturunan Tionghoa, namun dia lahir dan besar di Malaysia. Terlihat jelas dari mata yang seperti bulan sabit, dan wajah oriental. Dia sudah bekerja satu tahun, sejak aku diangkat menjadi manajer produksi.

Malaysia memang seperti Indonesia, banyak ragam suku yang tinggal di sini. Meski mayoritas muslim, terdapat juga beberapa agama yang hidup secara berdampingan. Selain Tionghoa, ada pula India, ada juga sepertiku, dan pastinya ada yang asli Malaysia, disebut pribumi.

Mei langsung meninggalkan ruanganku tanpa kuperintah dua kali. Sepatunya bergemeletap di atas marmer. Sebagai sekretaris pribadi, dia cukup bisa kuandalkan, paham dengan segala tugas yang aku berikan.

Aku memang ada rapat hari ini dengan direktur utama perusahaan. Beliau meminta laporan dari setiap manager maupun divisi. Termasuk laporan produksi mengenai proses dan kualitas produksi yang harus terjaga, serta berapa banyak produksi selama minggu ini, yang semua itu berkaitan dengan sirkulasi terbit. Proses penerbitan surat kabar hingga ke tangan pembaca, semua akan mempengaruhi biaya dan efektifitas ketahanan kami di tengah dunia yang serba digital.

****

Filosofi KeluargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang