Bagian 7 Kisah Sepotong Roti

8 0 0
                                    

Aku memulai hariku dengan roti john yang berukuran besar di atas meja kerja dan secangkir kopi hitam pekat. Yah ..., mungkin sepekat hidupku saat ini. Menghirup aromanya dalam-dalam, dan merasakan energiku seolah terisi. Sensasinya seperti mendapatkan kekuatan baru untuk mengawali hari.

Ngomong-ngomong soal roti, aku punya cerita menarik tentang olahan tepung satu ini, yang menjadi saksi bisu atas gagalnya orang tuaku untuk memberiku kehidupan layak. Sepotong roti yang menjadi kisah tak terlupakan bersama teman-teman. Nantilah aku ceritakan.

"Hai, bro!" suara Ibra mengagetkanku. Membuyarkan seluruh kekhusukan pagiku. Tanganku segera meletakkan gelas kopi di meja.

"Assalamu'alaikum, Ibra!" tegasku.

"Wa'alaikumsalam, Tuan Rahman," nadanya bukan seperti dari bawahan ke atasan, melainkan ke sesama sahabat. Ah ... dia memang tengil.

Orang satu ini emang slengekan. Berbanding terbalik dengan penampilannya yang berbalut kemeja biru langit dengan celana kain hitam.

Rambutnya lurus rapi mirip aktor korea, bahkan berponi. Untungnya, wajahnya mendukung, mirip-mirip keturunan Tionghoa. Padahal, dia bilang tidak campuran Tionghoa. Entah, dapat darimana itu wajah. Kalau bentukannya sama kayak aku, ya aneh.

"Gimana lah honeymoon kau?" tanyaku tanpa basa-basi.

Sudah biasa kita seperti ini. Dia lebih parah kalau sudah mengolok-ngolok.

Aku sedang berada di mood yang kurang baik untuk menyambut kedatangan pengantin baru.

Ibra masuk dan langsung duduk di kursi depanku. "Baik, die yang tak baik. Bising sangat tiap kali pergi! Bikin penat je,"[1]

"Lah, bersyukurlah punya istri macem tuh. Lagipula, tak kan lagi kau kena polisi agama gara-gara mojok berdua di taman!" selorohku.

Dia tertawa kecut mengingat itu, mengingat-ingat asal muasal akhirnya memutuskan untuk menikah.

Berawal dari polisi agama di Malaysia selalu melakukan patroli di tempat-tempat umum, untuk menangkapi pasangan-pasangan yang belum halal namun sudah berani berduaan. Atau, di saat puasa. Mereka akan berpatroli di setiap warung yang kedapatan ada orang muslim makan di tempat.

Ibra pernah ditangkap dengan istrinya itu sebelum memutuskan untuk menikah. Mereka kedapatan kencan di taman kota yang tak jauh dari kantor ini. Setelah itu, buru-burulah dia mengurus segala persyaratan nikah. Heran ya, mau nikah aja harus kepergok dulu. Coba kalau enggak kepergok? Mungkin dia masih beralasan di balik pembenaran 'belum siap'.

Tapi, dia mengakui kalau akan menikahi gadis pujaannya itu. Mulailah dengan lamaran, lalu sederet acara lainnya. Aku? Jadi bahan olok-olokannya selama acara. Emang sialan tu, anak!

Istrinya juga kawan kami sendiri. Cantik, berhijab pula. Seingatku, kulitnya sawo matang.

Setidaknya Ibra sudah tak pusing mikir masalah komitmen. Dia sudah berada pada tahap selanjutnya, yaitu untuk mempertahankan pernikahan.

Seperti aku sendiri, juga belum berani berkomitmen. Meski ada seseorang yang akan selalu menungguku. Apa aku cinta dia? Iya, aku cinta dia. Apa aku berniat menikahinya? Itu yang belum bisa kujawab. Pernikahan sesuatu yang tabu dalam hidupku.

Nah, baru saja aku memikirkan, namanya sudah tertera dalam layar lima inchi di atas meja kerja, Latifa. Melihat itu, Ibra segera diam seribu bahasa.

Kugeser tanda menerima panggilan.

"Halo, Assalamu'alaikum," sapaku.

"Wa'alaikumsalam, abang jangan lupa nanti malam ada makan malam bareng keluarga!" Glekk!! Seketika aku menelan ludah mendengar kalimat Latifa barusan.

Aku tidak salah dengar, kan? Makan malam bareng keluarga?

Kubuat nadaku senatural mungkin, "Jam berapa?"

"Selepas maghrib," jawabnya.

Aku tak punya jawaban selain mengiyakan.

Latifa Wirawan, seorang dosen filsafat di almamater kami. Orangnya lembut, dan punya kemiripan Ibu dulu. Matanya teduh menenangkan, tak pernah aku menjumpai perempuan seperti itu. Dia yang begitu sabar menghadapi segala perilaku anehku. Hmm..., kiranya Tuhan berbaik hati padaku lewat perempuan yang satu ini.

Ini adalah masalah terbesarku, komitmen. Bagaimana aku bisa menghadapi kedua orang tua Latifa tanpa keberanian? Aku tak sampai hati jika harus melihat Latifa menangis tersedu karena kepengecutanku. Jadi, apa yang harus aku lakukan?

Ibra sudah tertawa keras-keras begitu kututup nada panggilan. Bahkan, refleks menepuk tangan satu kali saking kencangnya tertawa. Sampai-sampai kursi putar sedikit bergerak dari posisinya. Dia memang selalu puas melihat wajahku yang gugup karena Latifa.

"Kenapa tertawa? Aku butuh saran, nanti petang Latifa panggil aku untuk jumpa dengan kedua orang tuanya. Kau ada saran?"

"Jelaslah aku tertawa! Saran apa yang ingin kau dengar? Bukankah dari dulu aku sudah memberi saran?" Dia menghela napas panjang dan bersikap serius. Telunjuk kanannya memberi isyarat agar aku mendekat. Badannya condong ke depan, hingga wajah kami berjarak beberapa senti "Tanyakan hatimu, ada alasan kenapa kau belum siap untuk berkomitmen?" lanjutnya sembari telunjuk kanannya tak berhenti mengarah kepadaku. Sedangkan tangan kirinya bertumpu pada meja.

"Banyak kalau mau dijabarkan," keluhku.

"Nah, coba saja jabarkan. Siapa tahu, perasaan kau jadi lega!" Dia menyandarkan diri pada kursi, "perkara hati, tak siapapun yang bisa bantu. Kau harus temukan sendiri jawabannya!"

Ibra benar, harusnya aku mulai menjabarkan satu per satu masalah yang menyebabkanku seperti ini.

Aku menghela napas. Setelah kuingat-ingat, aku memang belum memberitahukan hal yang sebenarnya pada Ibra, apa yang terjadi hingga membuatku masih takut untuk menikah.

Ibra langsung pamit begitu mengatakan kalimat terakhir. Padahal, jawaban itu yang masih kucari.

Dalam filsafat, manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan dan kewajiban untuk menyelidiki arti yang dalam dari 'yang ada', 'kenali dirimu sendiri'. Manusia dituntut untuk mengerti semua itu, sebelum menentukan sikap.

Aku? Belum sepenuhnya mengerti. Kenapa manusia harus diciptakan dengan berbagai masalah? Lalu, kita meninggal dan akan diminta pertanggung jawaban. Kenapa harus ada lingkaran seperti ini?

Aku memang masih mencari jawaban tentang diriku sendiri, dan merangkai permasalahan ini seperti puzzle. Tidak lupa juga fakta tentang masa kecilku, melihat kedua orang tuaku bertengkar, dan dihajar ketika nakal. Aku berusaha melupakan semuanya, tapi tetap saja semua membekas. Aku memilih untuk melangkah maju daripada mengurusi masa lalu. Siapa sangka? Justru itu menjadi malapetaka saat ini. Kepalaku sekarang terasa berat, berpikir bagaimana aku bisa menghadapi orang tua Latifa nanti.

****

Filosofi KeluargaOnde as histórias ganham vida. Descobre agora