4

6 3 0
                                    

Perpustakaan adalah pelariannya. Dan juga tempat yang menyakiti hati kecilnya. Meir selalu berharap untuk melihat buku terbitannya ikutan berjejer rapih di sini.

Jelas harapan yang nyaris Meir lepaskan, meskipun begitu, mata Meir tetap menyusuri satu persatu buku fiksi yang terjajar rapih di rak nomor 3 ini.

Tangan Meir akhirnya meraih satu buku acak, dan membukanya.

"Saya juga suka buku itu." Sebuah suara membuatnya nyaris menjatuhkan buku tersebut. Seorang Daksa Arkana berdiri di belakangnya. Meir sendiri menganggap tubuh 170 cm-nya sudah cukup tinggi, nyatanya dilihati dari atas seperti ini cukup menakutkan juga.

"Saya cuma asal ambil," ucap Meir, lalu tangannya menyerahkan buku tersebut. "Kalau kamu mau baca, silahkan."

"Saya udah baca buku itu puluhan kali," tolak Daksa. "Saya sarankan anda juga membaca buku tersebut."

Tidak ada salahnya. "Baik," ucap Meir akhirnya. Namun, mengapa pula Meir harus menuruti pria ini.

"Saya belajar untuk menulis apa yang ingin saya tulis dari buku itu," lanjut Daksa, ketika Meir mulai beralih dari dia.

"Kamu, jelas jenis orang yang suka banyak bicara, ya," ceplos Meir begitu saja. Kendati demikian, Daksa malah tersenyum makin lebar.

"Kamu orang pertama yang menanyakan pertanyaan tersebut pada saya," jawab Daksa, memertahankan senyumnya. "Saya gak mau ganggu kamu, silahkan lanjutkan kegiatanmu."

Daksa beralih dari pandangan Meir. Namun efek senyumnya masih mengikat kuat di dada Meir.

fall.Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu