2

8 3 0
                                    

Meir meneguk ludahnya sendiri. Tangannya mengusap pelan buku yang dibacanya. Meir baru membaca bab pertama dari buku tersebut. Namun Meir bisa mengatakan dengan yakin. Daksa Arkana adalah orang jatuh cinta dengan menulis.

Meir baru saja melangkahkan kakinya di toko buku langganannya, ketika dirinya tersandung dengan jumpa fans seorang penulis yang baru saja mengeluarkan buku perdananya.

Karena terdapat satu jilid yang sudah terbuka, Meir memberikan kesempatan untuk buku tersebut.

Lalu tanpa sadar, dia sudah membeli buku tersebut dan mengantri di barisan tanda tangan penulis tersebut. Nyaris semua barisan itu dipenuhi dengan kaum hawa.

Meir tidak dapat menyangkal. Sosok yang duduk di sana, yang nampaknya sang pemilik nama Daksa Arkana memang tampan.

Tiba giliran Meir. Meir memberikan bukunya. Tidak seperti sebelum-sebelumnya yang dipenuhi dengan ucapan syukur sang pembaca dan Daksa secara bergantian, kali ini diisi dengan keheningan.

"Saya gak tahu kamu," ucap Meir tiba-tiba, membuat tanda tangan Daksa terhenti di tengah. "Apa yang membuatmu jatuh cinta dengan menulis?"

Daksa tersenyum lembut. Daksa sendiri, secara mengejutkan, tidak pernah menerima pertanyaan itu sebelumnya. Pembaca ceritanya di platform web novel tidak mencapai seribu, dan tidak pernah sekalipun menerima komentar dari pembaca-pembaca tersebut. Namun Daksa sudah senang dengan keluarga kecilnya tersebut.

"Siapa namamu?" tanya Daksa balik, seakan tidak mengindahkan pertanyaan Meir.

"Meir Quiteria," jawab Meir ragu-ragu. Daksa menuliskannya di sebelah tanda tangannya.

"Begini?" ucap Daksa memastikan pengejaan nama Meir. Meir mengangguk kagum. Daksa dapat mengeja namanya dengan benar dalam sekali dengar.

"Jatuh cinta tidak pernah dalam bentuk yang sempurna. Begitu juga dengan menulis dan tulisan." Daksa memberikan buku Meir dan menatapnya tepat di mata Meir. "Namamu. Memberi cahaya hidup. Apapun yang kamu tulis, tidak perlu sempurna. Selama ada cahaya hidup yang memancar dari tulisanmu."

"Terima kasih," gumam Meir terpaku. Dia bahkan sampai nyaris lupa mengambil bukunya dan beralih dari situ.

Meir tidak pernah menganggap dirinya mengejar kesempurnaan dari tulisannya. Sampai dia disadarkan lagi, dia memang berkutat di tempat yang sama, terlalu lama.

fall.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang