1. Ujian Hidup

101 8 0
                                    

Seorang perempuan muslimah yang anggun dengan satu set baju dan rok berwarna purple senada dengan khimar segi empat yang menutupi kepalanya sedang menyiapkan sarapan pagi dengan menu nasi goreng dan telur mata sapi. Masakan telah terhidang seorang perempuan paruh baya dengan pakaian sederhana datang menemuinya.

''Aduh non Nayara maaf Bibik kesiangan tadi habis subuh tidur lagi soalnya kepala Bibik pusing,'' ucap Nur, asisten rumah tangga di rumah ini.

Perempuan muda yang memiliki nama cantik nan unik itu langsung berkacak pinggang dengan raut wajah yang geram dan tatapan tajam siap menyantap mangsa di hadapannya. Nur yang memanggil dirinya dengan sebutan Bibik itu meringis dengan wajah ketakutan.

''Ibu...'' panggil Nayara dengan ekspresi wajah yang berubah menjadi riang disusul dengan rangkulan hangat di tubuh Nur.

''Non Nayara, ih Bibik pikir Non beneran marah, Bibik sudah ketakutan,'' oceh Nur sembari menghela napas lega.

''Maaf ya Bu, tadi aku bercanda, mana mungkin aku marah sama Ibu, yang ada aku sayang sama Ibu.''

Rangkulan hangat itu berubah menjadi pelukan penuh kasih dan sayang seorang Nayara kepada sang pembantu di rumahnya yang sudah ia anggap sebagai ibunya. Nur segera melepaskan pelukan itu, bukan ia tidak menghargai anak dari majikannya itu hanya saja ia merasa kurang pantas mendapatkan pelukan dari Nayara karena perbedaan status di antara mereka berdua, Nayara seorang anak majikan sementara dirinya hanyalah seorang asisten rumah tangga.

''Ibu mesti deh kalau aku peluk langsung dilepas,'' rengek Nayara kecewa.

''Maaf Non, bukannya Bibik menolak tapi Bibik nggak pantas dipeluk sama Non Nayara, Bibik hanya seorang pembantu sementara Non Nayara adalah anak dari majikan Bibik.''

''Ibu, aku kan sudah bilang, aku sudah menganggap Ibu adalah Ibu aku juga karena Ibu yang merawat aku dari kecil dari bayi bahkan, iya kan Ibu.''

Memang benar saat Nayara lahir ke dunia ini Nur yang merawatnya. Ia juga menyayanginya dengan setulus hati maka tidak heran apabila Nayara begitu dekat dan menganggap dirinya layaknya ibu kandungnya sendiri.

''Iya Non, tapi memang itu sudah tugas Bibik untuk merawat Non Nayara.''

''Nggak Ibu, itu tugas Mommy dan Daddy, seharusnya mereka yang merawat aku.''

''N-Nyonya dan Tuan juga merawat non Nayara, Bibik hanya membantunya saja,'' timpal Nur sedikit terbata-bata.

''Ibu-''

''Non, tolong jangan panggil Bibik dengan sebutan Ibu, Bibik ini hanya pembantu di sini.''

Nur merasa tidak enak ketika Nayara memanggilnya dengan sebutan ibu, karena baginya itu terlalu berlebihan. Ia hanya seorang asisten rumah tangga dan di rumah seluruh majikannya memanggilnya dengan sebutan Bibik, kecuali Nayara.

Disaat Nayara ingin melanjutkan ucapannya tiba-tiba suara derap langkah terdengar dari luar. Tanpa berpikir panjang Nayara keluar dari ruang makan yang terhubung dengan dapur untuk menemui seseorang yang baru saja turun dari anak tangga yang menghubungkan ke lantai dua.

''Daddy.''

Sorot mata Nayara tertuju kepada seorang laki-laki dewasa dengan penampilan yang rapi, satu set kemeja dan celana dengan jas dan dasi yang senada juga tas kulit berwarna hitam yang biasanya selalu dibawa oleh orang-orang pekerja kantoran. Laki-laki yang disebut Daddy itu tak lain adalah ayah dari Nayara, Zain Atalaric.

''Daddy, sarapan sudah siap, Nayara-''

Belum sempat berbicara panjang lebar Zain sudah meninggalkan putri bungsunya dan sibuk berbicara dengan seseorang ditelepon, sepertinya rekan bisnisnya. Keluarga Nayara adalah keluarga kaya raya, sang Daddy adalah pemilik perusahaan terbesar nomor lima di kota ini yang bergerak di bidang properti. Rumah yang mereka tempati layaknya istana yang megah nan mewah akan tetapi Nayara tidak silau dengan gemerlap dunia yang dimilikinya karena itu bukan bagian dari kebahagiaannya. Baginya mempunyai keluarga yang harmonis adalah segalanya tak sebanding dengan harta dunia.

NAYARAWhere stories live. Discover now