15_a rush of blood

Start from the beginning
                                    

Jujur, Jaza juga tidak merasa bahwa dia sedang menyembunyikan ketertarikannya kepada Isy. Dibiarkannya segala hal mengalir, termasuk ekspresi rasa yang ternyata sangat jelas untuk disadari. Bahkan sampai dia tidak menyadari bahwa segala atensi yang dimiliki disita sepenuhnya oleh sang gadis.

"Tapi Jaza sama Isy cocok nggak menurut Bulik?" Jaza menanyakan hal itu dengan pandangan yang sama sekali belum beralih dari titik kepergian Isy. Padahal, setitik pun bayangan gadis itu tidak dapat lagi dilihat dari tempatnya berdiri. Kemudian, dia merasakan tepukan keras di lengannya sebelum sang tante melepaskan sentuhan itu dan sedikit menjauhkan tubuh.

"Emang Isy-nya mau sama kamu?"

Kontan saja, Jaza menolehkan kepala dan menatap tak suka kepada tantenya, mengundang tawa dari yang lebih tua. "Gitu banget sama ponakan sendiri," katanya sambil memberikan tatapan kesal, mengundang tawa yang lebih lebar.

"Udah, ah. Ayo masuk. Bulik ada janji sama pasien sore nanti." Benar saja, Dokter Ratih meninggalkan Jaza dan memutari kap mobil untuk mencapai kursi penumpang.

Sementara Jaza tidak terima. Bukannya menuruti titah, dia justru berkata dengan nada yang terdengar seperti rengekan. "Bulik, cocok atau nggak, jawab dulu."

Tantenya tidak menanggapi, membuat Jaza hendak membuka mulut lagi, tetapi urung ketika Dokter Ratih memberikan tatapan penuh peringatan. "Berisik banget kamu ini. Nggak penting cocok atau nggak kalau ceweknya nggak mau. Udah, cepet masuk."

Kalimat itu seolah menjadi penutup paling final sebelum Dokter Ratih memasuki mobil. Sedang Jaza betulan menghentikan kalimatnya, dengan bibir yang tanpa sadar dimayunkan sebagai ekspresi kekesalan. Sepertinya, orang yang melihat lelaki itu saat ini tidak akan menyangka bahwa Jaza adalah staff ahli Departemen Sosial dan Kemasyarakatan BEM FISIP yang sudah memiliki banyak pengalaman memimpin program kerja.

Pada akhirnya, lelaki itu memasuki mobil, menjalankan perintah sang tante yang tidak akan bisa dibantah. Tangannya segera aktif mengontrol kemudi. Tadi, Jaza memang berangkat bersama Dokter Ratih, mengantar wanita itu untuk menjadi pembicara seminar di Fakultas Psikologi yang ternyata juga dihadiri Isy. Maka, sekarang Jaza juga harus mengantar tantenya ke klinik tempat praktik beliau.

Mobil mulai berjalan, dengan hening yang tercipta di dalam sana. Dokter Ratih tengah mengecek iPad di tangannya, mungkin meninjau kembali berkas-berkas pasien yang dia tangani. Mungkin juga membaca jadwal yang harus dia tuntaskan. Jaza tidak tahu pasti dan tidak berminat untuk mencari tahu. Sebab pikiran lelaki itu pun sedang berkelana ke sana kemari, memutar ulang segala yang dilalui beberapa saat lalu.

Dia tidak pernah menyangka akan bertemu Isy hari ini, apalagi disuguhi fakta bahwa Dokter Ratih--adik dari mamanya--mengenal gadis itu begitupun sebaliknya. Bahkan, ketika melihat Isy di resepsionis sebelum memasuki aula pun, Jaza tidak yakin dengan pandangannya. Suara familier yang memilih hot chocolate dibandingkan kopi, belum mampu mematikan ragu. Sampai akhirnya, dia bisa melihat nama gadis itu di buku tamu, membuatnya meminta hot chocolate juga karena menyadari bahwa panitia salah memberikan cangkir kepada Isy.

Menyaksikan Isy dan Dokter Ratih mengobrol dengan santai sepanjang acara makan siang tadi, sampai-sampai tidak kehabisan topik, tentu saja merupakan hal yang sangat mengejutkan bagi Jaza. Bagaimana bisa mereka saling mengenal, di saat disiplin ilmu yang dipelajari Isy pun tidak sejalur dengan Dokter Ratih? Dia kembali mengingat cincin milik Isy yang pernah dia temukan. Cincin yang meninggalkan kecurigaan di hatinya, bahwa bisa jadi itu adalah benda yang dibutuhkan oleh mereka yang memiliki gangguan kecemasan. Cincin yang membuat Jaza bertanya kepada Dokter Ratih dan mendapatkan kepastian bahwa itu adalah anxiety ring, sesuai dugaannya.

Mata Jaza juga dapat menangkap dengan jelas bahwa Isy masih mengenakan benda itu, meski modelnya berbeda dengan yang ditemukan Jaza. Mungkinkah Isy mengenal Dokter Ratih karena gangguan psikis yang dia miliki? Jaza menggelengkan kepalanya sekilas. Dia penasaran, tetapi kemungkinan itu bukan hal yang ingin dia konfirmasi sebagai sebuah kebenaran.

Protect At All Costs (END)Where stories live. Discover now