000

Adam menundukan kepalanya, menatap wajah Eve yang sedang tersenyum. Pipi pucat perempuan itu sedikit memerah ditengah dinginnya cuaca. Belum selesai memahami apa alasan perempuan itu tersenyum padanya, Eve kembali mengucapkan kata-kata yang membuat benaknya sedikit tergugah.

"—terimakasih."

Walau tumbuh dalam lingkungan bangsawan, rupanya Eve tidaklah seperti yang dirumorkan. Perempuan dihadapannya ini sangat tangkas, rendah hati, cerdas dan berpikiran lugas. Sedikit banyak Adam dapat menerka-nerka alasan mengapa perempuan itu kabur dari sangkar berlian yang belasan tahun mengungkung perempuan itu —jiwa bebas bereksplorasi Eve, tidak akan pernah menyatu dengan beratnya peraturan keluarga dari generasi ke generasi.

"Aku tinggal di rumah kecil, hanya ada satu kamar. Mulai sekarang kita akan berbagi ruangan." Eve bersuara ditengah-tengah perjalanan menyusuri pinggiran hutan sambil sesekali menatapnya, memastikan keadaanya. "Kau tidak keberatan, bukan?"

Adam mengangguk, tidak punya pilihan lain, selain berlindung dibawah naungan Eve —setidaknya sampai keadaannya pulih dan mencari cara agar dapat pulang untuk menemui ayah dan ibunya.

Adam tidak ingin bermuluk-muluk menanyakan seperti, mengapa perempuan itu berani menawarkan tinggal bersama? Mengapa perempuan itu berani berbagi kamar padanya? Ditunjang dari pembawaan perempuan itu, Eve bukanlah seorang yang memiki pemikiran konservatif. Disatu sisi Adam terpukau dengan pembawaan perempuan itu, disatu sisi lagi ia bertanya-bertanya, kehidupan seperti apa yang telah dilalui nona serba berkecukupan ini?

Adam bukanlah pria yang ingin menyibukan diri untuk bertanya mengenai privasi kehidupan orang lain. Berdasarkan hal itu, pada akhirnya Adam memilih untuk tidak memikirkan jawaban dari pertanyaannya.

"Nah, itu tempat tinggalku. Sudah dekat, tidak jauh dari hutan ini."

Untuk kesekian kalinya, Eve mengejutkan pemikiran Adam. Rumah tempat tinggal perempuan itu bisa dibilang kurang layak huni untuk ukuran nona konglomerat seperti Eve. Bahkan rumah ayah dan ibunya yang hanya seorang petani, jauh lebih layak huni dari hunian Eve saat ini. Adam terkesima dengan tingkat kesederhanaan dan kemampuan bebaur Eve bersama rakyat  biasa. Eve benar-benar berbeda dari beberapa nona bangsawan yang sempat berkenalan dengannya lalu sedikit memandang rendah dirinya karena statusnya yang hanya seorang anak dari petani.

"Oh ya Tuhan. Bukankah itu Albert?"

"Siapa kau bilang, Albert?"

Tiba-tiba Adam mengeluarkan pistol dari balik seragam yang ia kenakan lalu hendak mengarahkan pistol itu ke arah objek yang Eve sebutkan, dan aksinya harus terhenti ketika Eve memekik.

000

"Ya Tuhan, apa yang hendak kau lakukan? Ini daerah teritori musuh dan pria itu adalah sahabat ku! Apa kau berniat mencari perhatian dan ingin membunuh kita saat ini juga?"
Eve memekik tertahan kemudian tangannya mengambil paksa pistol dari tangan lelaki itu. Eve tidak mengerti apa hubungan lelaki itu dengan Albert hingga membuat lelaki itu seperti orang yang telah memendam dendam dan tak kunjung terbalaskan. Ia berdecak kesal lalu kembali menasehati lelaki itu. "Sungguh, ku mohon bekerja samalah. Entah itu dendam pribadi, tidak harus sampai membunuh, tuan. Kalian bisa membicarakannya baik-baik."

Lelaki disampingnya ini kemudian menggeram —seakan tak setuju dengan saran yang baru ia berikan. Lelaki itu kini menatapnya tajam —setajam sorot mata yang sempat mengintainya. "Pria itu sudah membunuh sahabat-sahabat ku di Praha. Dia sudah mencoba membunuh ku berulang kali. Tiga puluh tujuh kali. Apa yang akan dia lakukan jika melihat mu membawaku ke hadapannya? Kau seperti mengantar ku pada kematian yang sempat tertunda."

Emosi Eve sedikit tersulut setelah mendengar ucapan sang lelaki yang menurutnya sedikit kurang pantas. Memang salah siapa mereka harus seperti ini? Apa itu keinginan Albert?

Dengan emosi yang diladeninya, Eve menghempaskan tubuh lemah sang lelaki ke atas tanah —tanpa perasaan. "Ku pikir kau orang yang cerdas dan berpikiran luas, tapi ekspetasiku sepertinya terlalu tinggi. Pernahkah kau berpikir sedikit saja menggunakan otak dangkal mu itu, memang salah siapa yang mengharuskan kalian saling berperang? Memang salah siapa yang mengharuskan kalian saling membunuh? Nyatanya diantara kalian hanya ada dua pilihan, dibunuh atau membunuh. Kau tau apa tentang dia? Apa kau tau berapa banyak orang tersayang yang meninggal dihadapannya? Kalian sama, sama-sama kehilangan orang tersayang kalian. Kau tidak bisa meladeni rasa egois mu. Kau tidak bisa merasa kau paling menderita di muka bumi ini, kita semua sama menderitanya seperti diri mu. Tolong! Berpikirlah yang logis, tuan."

Eve berbicara panjang lebar, tanpa tau bagaimana keadaan lelaki itu yang sedang terduduk di tanah.  "Apa yang kau tau tentang diri ku? Kau tidak tau apa-apa. Kau tidak tau bagaimana rasanya melihat sahabat mu mati  dihadapan mu, darahnya membasuh wajah mu, membasahi tubuh mu. Apa yang kau tah, hah? Kau berbicara seolah kau ada disana."

Eve terkejut tatkala mendapati keadaan lelaki itu yang terlihat amat menyayat hati. Lelaki itu menangis memegangi kepala dengan darah mengalir dari hidung. Isakan lelaki itu tertahan membuat suara tangisan yang tersendat-sendat. Seketika perasaan bersalah menjalar ke relung hatinya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya tergugah melihat kondisi lelaki itu. "Maafkan aku—aku— aku terlalu emosional."

Lelaki itu hanya diam dengan tubuh bergertar hebat membuat dirinya terdorong untuk memeluk tubuh lelaki itu. "Maafkan aku.." Eve tidak peduli kalau sebentar lagi mungkin saja ia akan meregang nyawa ditangan lelaki itu —yang ia pedulikan saat ini adalah nalurinya yang tergerak untuk menenangkan si lelaki. Tangannya kian mengeratkan pelukan mereka, dia menepuk lembut punggung lebar yang ringkih itu, lalu menangis bersama.


I WILL WAIT FOR YOUWhere stories live. Discover now